Nadin Membunuh Nostalgia

Ardi Rai Gunawan
Chapter #22

Bab 22

Neraka itu sudah lahir di pembuluh darahnya sejak ia masih berusia empat belas. Abdullatief bin Kusai, atau bernama kecil Manshoor, kala itu baru saja pulang sekolah, ke rumahnya di daerah padat penduduk Damaskus. Bola matanya melebar tatkala ia menyaksikkan rumahnya porak poranda: meja terbalik, tirai pintu rusak, jangan ditanya lagi soal perabotan di atas meja makan yang sudah tertanam di lantai berminyak. Ia menyeru, memanggil ibunya, tapi tak ada jawaban hangat atau omelan yang tetap menenangkannya. Yang ada ia mendengar erang ibunya di salah satu kamar di lantai satu. Bekas kamar kakak perempuannya, Aaliyah, yang memutuskan hijrah ke Turki, untuk sekolah—ikut bibi mereka. Di tempat biasa ia mendengar Aaliyah mengaji itulah, ia malah melihat ibunya dirasuki jahanam si preman, yang mana wajah menyebalkan itu sudah mengganggu Abud tatkala ia berangkat sekolah.

           Si preman yang sering di sebut Awan Hitam oleh bocah-bocah di kawasan tinggalnya, meminta Abud beberapa buah roti dan uang karena keluarganya, yang memang selalu mengalami kesulitan usai mendapatkan jerat utang dari almarhum bapaknya itu, ditolak mentah-mentah. Abud yang pendiam itu mendapatkan hantaman pada perutnya, namun ia tak tinggal diam usai ditendang dan dirangsek beberapa kali oleh Awan Hitam. Ia membalasnya. Melempar kepalanya dengan sebuah bata yang sebenarnya sudah keropos. Telak. Sebelum berangkat sekolah Abud masih ingat darah meleleh di sekitar pelipis.

           Masih ternginang dalam kepala Abud, Awan Hitam memakinya, namun Abud segera pergi berlari ke sekolah. Ia tak menyangka pembalasan Awan Hitam sangat menggempakan tubuh dan jiwanya. Tidak hanya itu, setelah Awan Hitam sering muncul di rumahnya, menanamkan kutuk jahanam di tubuh ibunya—yang telah lama dikenal sebagai penatu janda itu—lambat laun, akal sehat ibunya pun menguap bersama setiap erang dan geram kecil yang menjadi lagu horor bagi Abud ketika mendengarnya. Awan Hitam tak pernah memintanya keluar. Ia memaksa Abud untuk mendengarnya nada haram itu, bahkan melihat dengan mata kepala sendiri, betapa berbahayanya setan yang baru saja keluar dari neraka itu.

           “Kelak kau akan tahu, betapa hidup adalah rentetan persiapan menuju neraka yang sebenarnya, Manshoor…” katanya. Seingat Abud itu terakhir kali ia muncul menghunjam panah api dan derita pada kerapuhan tubuh ibunya. Sejak saat itu ia tak tertarik lagi menghampiri seorang perempuan gila yang hanya bisa melamun dan melongo ke arah jam dinding rumahnya. Bagi perempuan itu, waktu terasa berhenti. Tak ada lagi kehidupan. Tapi ia pun seperti kehilangan akal untuk sekadar berpikir, bahwa hidup seperti neraka ini sebaiknya diakhiri saja. Tidak ada. Tidak ada pemikiran seperti itu.

           Dan yang paling menyakitkan bagi Abud remaja adalah, mata ibunya, yang seingatnya begitu lembut penuh kasih ketika mencemaskannya kala pulang telat, kadang tajam dan berwibawa ketika mengomelinya bila ia buat ceroboh atau kenakalan dengan anak tetangga—pancaran itu tak ada lagi. Hilang sudah warna kehidupan di mata kecokelatan itu. Kosong. Berkali-kali Abud mengajaknya ngobrol sembari menyuapinya. Entah pagi, siang, atau malam. Hari demi hari, Abud seperti mengobrol dengan tembok. Apalagi dalam suatu hari, Abdu menyadari ibunya sudah tak ingin bergerak. Ia hanya ingin rebahan saja, sehingga ia pula yang harus menceboki dan membersihkan tainya. Ia pula yang melap tubuhnya. Sementara di saat yang sama, ia mesti jual apapun untuk bisa bertahan hidup. Tentu saja, karena bapaknya yang berpisah dengan ibunya memutuskan pergi di kota lain. Entah hidup dengan istri barunya atau menjadi relawan perang di Yaman. Karena kekosongan akal yang mendera ibunya pula, perempuan itu sudah tidak bisa menjadi penatu bagi lingkungan sekitarnya. Alhasil, di saat ia berangkat sekolah hingga pulang sekolah, Abud harus memeras otaknya agar ia setidaknya bisa mendapatkan uang. Entah dengan menjual rokok lintingan dari puntung yang dikumpulkan. Membantu Pak Abbas dalam menjaga toko kelontong, dan tak jarang ia kerap berkelahi dengan bocah-bocah jahiliyah yang mengutil es krim atau sekadar keperluan orangtua mereka, seperti sabun, atau rokok, atau minyak wangi, juga berbagai hal yang tak bisa mereka beli dengan receh di saku celana pendek mereka.

           Seperti pada suatu waktu, ia menjewer seorang bocah yang kedapatan mengutil sebotol Coca-Cola dari kotak kemas yang baru saja dikirim mobil pengantar di pabrik cabang. Pak Abbas yang melihat Abud melakukan itu di sebuah pertigaan kecil, lantas berseru dan memanggil Abud, seraya berisyarat agar bocah sekolah menengah itu tidak terus menjewer anak jahiliyah itu, hingga daun telinganya memerah.

           “Ini sangat menggelikan sekali, Manshoor… masih kuingat… di ujung pertigaan jalan itu, akulah yang menjewermu, sebelum ibumu lanjut menarikmu, dan aku masih ingat pula ingusmu berleleran ketika kau menoleh ke arahku lagi. Masih ingatkah kau?” kata Pak Abbas. Penjaga toko kelontong, yang juga guru di madrasahnya.

           “Aku ingat, dan itu tetap menyebalkan.”

Lihat selengkapnya