Musim semi mulai bertumbuhan di atas tanah-tanah yang gersang. Musim itu dimulai dengan dua pedagang buah bereaksi atas rezim yang membelenggu leher mereka, hingga pedagang itu kehilangan akal dan akhirnya memutuskan untuk membakar diri mereka sendiri. Mulai dari sini, kecamuk tumbuh subur seolah gerimis yang berkembang cepat menjadi badai.
Kala itu, Manshoor sudah berusia tujuh belas, dan ia sadar betul, nasibnya tak akan sama dengan Aaliyah, yang bisa hidup di atas kedua kakinya sendiri. Manshoor seperti pesimistik jadi seorang pria. Ia melihat kakaknya enak betul. Setelah lulus sekolah komputer dari hasil beasiswa di Billkent Univesity, Ankara, seorang pria mapan yang memiliki perusahaan startup di Turki sana lantas meminangnya, dan ia tahu kini kehidupan kakaknya sejahtera. Walau sebenarnya, sejak ibunya pergi dengan mengenaskan di tengah malam yang nahas, keluarga bibinya—yang pula selama ini telah menampung Aaliyah—sempat pula menyuruh Manshoor supaya tinggal bersama mereka.
Namun, ego Manshoor diakuinya cukup tinggi kala itu. Ia lebih memilih luntang-lantung, sebelum akhirnya tinggal bersama bapaknya di Daraa. Bersama si Kusai, yang kerap disebutnya sebagai Mendung Siang Bolong itu, ia tak bisa menjadi anak yang penurut. Kematian ibunya usai melewati hari-hari paling sinting sejak Awan Hitam memberikan neraka di tubuh dan jiwa ibunya, Manshoor alias Abud memang jadi bocah bengal. Ia tak pernah bisa akrab dengan keluarga baru yang dibangun Mendung Siang Bolong itu dalam beberapa hari.
Sebenarnya ia tahu ibu tirinya, Leeya (mengingatkan Manshoor pada kakaknya, Aaliyah), sangat berusaha membagi kasih sayangnya. Kedua putra yang dimilikinya, usai kawin dengan Mendung Siang Bolong pun kerap cemburu karena Leeya lebih sering memerhatikannya, bahkan di awal-awal sekolah menengah, ibu tirnya kerap mengawasinya—usai Manshoor kedapatan berjualan obat-obatan ilegal dan berkelahi dengan orang-orang dari sekolah lain. Leeya yang sudah mengetahui nasib nahas yang dialami ibu kandung Manshoor, terpantik pula keibuannya, dan kini merasa punya tanggung jawab untuk melindunginya—sebagaimana ia adalah putranya sendiri.
Namun, pada dasarnya Manshoor masih cenderung berapi-api—hal ini membuat Leeya kewalahan juga. Terutama sejak Manshoor mulai kenal lalu biasa minum-minum. Seperti malam itu, ia pulang pesta Vodka Taj dengan bocah-bocah lain—biasanya jelang dini hari—Manshoor selalu mendengar kedua orangtua mereka berdebat, singkatnya Leeya ingin Manshoor dipulangkan ke Damaskus, atau mengirimnya ke keluarga istri lamanya, atau biarkan dia pergi ke salah satu sanak keluarga suaminya yang sudah menetap lama di Indonesia. Namun, saat itu Mendung Siang Bolong tak ingin lebih banyak berutang budi. Manshoor memang tahu lelaki ini punya gengsi besar. Mendung Siang Bolong sebenarnya begitu malu dan merasa hina sendiri ketika Aisyah, dari keluarga istri lamanya, meminta lelaki itu membiarkan Manshoor diasuh olehnya—sebagaimana yang ia lakukan pada Aaliyah. Namun, alasan Mendung Siang Bolong, Manshoor berbeda dengan Aaliyah yang masih punya otak encer. Secara terang-terangan—di depan Manshoor, Mendung Siang Bolong itu berkata, bocah laki-lakinya tak punya otak dan kini ia menilai Manshoor terlalu lembek sehingga ia perlu didikan seorang ayah. Dan Manshoor sungguh sial harus mendapatinya.
Bahkan selain pada ibu kandungnya, yang seingatnya waktu kecil sering menampar, mendorong, ataupun mencemoohnya—dianggap tak bisa jadi istri penurut dan sebagianya. Kini, rupanya si Mendung ini tidak berubah juga. Kerap kali Manshoor sering cabut dari rumah saat mendengar Leeya, ibu tirinya itu pun mendapatkan perlakuan seperti ibunya dulu. Namun, kadang, bila sial, ia pulang langsung kena hantam ayahnya. Mengajaknya ribut seperti orang sinting. Tetangganya tak akan ikut campur bila mereka sudah bergulat, dan Manshoor harus jadi pihak yang kalah, karena kalau sekali saja ia melayangkan pukulan kepada si Mendung Siang Bolong yang laknat itu, dia pasti akan menuduh Manshoor sebagai anak durhaka yang akan tinggal di kerak-kerak lapisan dasar jahanam. Selanjutnya, ia hanya terpekur di atas tanah yang berdebu itu, seraya menatap tetes demi tetes darah yang mengucur dari lubang hidungnya.
“Kumohon mengertilah posisiku, Manshoor…” ujar Leeya setengah berbisik pada suatu pagi di meja makan yang sangat sederhana itu. Si Mendung masih tidur, dan akan bangun menjelang Zuhur. Kini Leeya menyajikan potongan roti seadanya. Susu, sedikit potongan keju serta orak-arik yang berantakan seperti hidup Manshoor. Dua anak Leeya biasanya sudah bersiap mengenakan seragam mereka, dan ia akan mengantar anak-anaknya ke sekolah.
“Aku tahu…”
“Tahu apa?”