Mata Manshoor membelalak dari balik lubang kunci, di balik pintu Mendung Siang Bolong yang nampaknya sedang kumat meradang berahi, sudah membuka harapan di antara kaki Leeya. Sesuatu yang mungkin sering dia lakukan pula ketika masih bersama ibu kandungnya. Melihat wajah Leeya yang tetap dingin, dan air matanya meleleh, membuat Manshoor yakin sekali, meski kata kawan-kawannya penyatuan tubuh itu selalu menciptakan dua kenikmatan di antara masing-masing tubuh, setelah Manshoor melihat dengan mata kepalanya sendiri, ia memiliki keyakinan lain. Leeya tidak suka dengan apa yang dilakukan Mendung Siang Bolong. Terlebih lelaki bangsat itu menamparnya hingga Leeya meradang dan nyaris memecahkan tangis, sebelum Mendung Siang Bolong menyumpal mulutnya dengan sebuah kaos kaki yang ia temukan di kolong ranjang.
Suara tamparan itulah yang membuat Manshoor terbangun dari tidurnya di sofa ruang tamu. Sebelumnya, di saat ia hendak memeriksa kamar suami istri itu, satu bocah—anak dari Leeya nampak sudah berada di depan pintu, bersiap mengetuk. Namun, Manshoor segera menggandengnya tidur ke kamarnya lagi di lantai dua, seraya berkata padanya, “Ibumu hanya sedang jatuh dari ranjang. Dan pria itu terbangun lalu tak sengaja menginjak kakinya…”
Lalu, jawaban bocah itu mengejutkannya. Ia tak menduga bocah ini ternyata selalu melihatnya.
“Dia selalu menampar ibuku…”
“Dia itu juga ayahmu…”
“Dan ayahmu.”
“Aku tahu… seumur hidup aku tak pernah sedetikpun merasakan rasa sayang… bahkan menghormatinya saja tidak…” bisik Manshoor. Tangan pria itu nampak gemetar. Namun, ketika melihat mata bocah yang masih belum sunat itu sudah berkaca-kaca, Manshoor segera menepuk-nepuk kepalanya. “Jangan khawatir. Tak lama lagi mungkin orang itu akan kehabisan umur…”
“Aku sayang ibuku.”
“Ya, kau harus menyayanginya. Jangan sampai terjadi sepertiku.
“Kenapa ibumu?”
“Gantung diri karena didera penyakit sinting…”
“Kenapa? Apa karena lelaki setan itu?”
“Separuhnya mungkin… tapi separuhnya… karena setan lainnya… dan aku merasa sangat bersalah perihal ini… sudahlah.. aku akan mengecek keadaan mereka. Mungkin mereka sudah tidak bertikai lagi.”
Namun, tentu saja Manshoor sudah lebih paham apa yang sebenarnya terjadi di balik pintu tersebut. Pagi harinya, ia melihat Mendung Siang Bolong dengan lunglai datang ke meja makan kami, dan meminta dibuatkan kopi serta bubur gandum. Ia menyeringai ke arah dua bocah lelaki dari Leeya, sembari menatap ke arah Manshoor dengan tajam dan merendahkan. “Jangan kau jadi seperti bocah ingusan itu… bahkan dia tidak bisa melakukan apa-apa ketika melihat ibunya tiada… kalian harus jadikan kakak tak berguna kalian ini sebagai contoh, supaya kalian semua jadi kuat dan perkasa. Bukan kerempeng seperti itu.”
Darah muda Manshoor tentu saja bergejolak mendengarnya. Telinganya panas. Ia ingin meradangkan murka dan menghantamkan tinju ke arah wajahnya, agar ia bisa merontokkan gigi-gigi yang selalu menunjukkan seringai congkak, menjijikkan. Ia ingin memuntahkan segala emosi yang sudah tertahan di sendang mata yang mulai memerah itu. Mendung Siang Bolong pun nampak bersiap. Ia tahu bocah dari istri pertamanya ini masih bertahan dan selalu siap berkelahi, terlihat dari cara Manshoor selalu bisa melawan meski sudah dihajar berkali-kali setiap Manshoor sekadar melakukan kesalahan sekecil apapun.
“Apa? Kau berani? Kau ingin berkelahi di pagi ini? Ingin membunuhku?”
Leeya yang sedang menyiapkan bubur gandum segera menoleh ke arah Manshoor dan menggeleng. Matanya sungguh menyiratkan alarm bahaya, setelah akal sehat Mendung Siang Bolong makin hari kerap berlarut-larut pergi karena kecanduan Vodka Rusia, yang bisa didapatkannya secara eceran di warung-warung tengah malam.
“Ayo?! Kau dendam padaku sekarang?! Kau merasa ingin melepaskan amarahmu? Ingin mengeluarkan seluruh kemampuanmu? Ayo lakukan, bocah tolol!” gonggongnya seraya beringsut dari duduk, lalu kedua bocah Leeya itu lantas melompat ke pelukan ibunya, lalu membisikkan, “mereka akan kembali saling tampol.” Detik itu pula, mata Leeya menyalang dengan gagah berani ke arah suaminya yang berbau Vodka. Ia masih bisa membayangkan betapa isi perutnya nyaris keluar tatkala Mendung Siang Bolong merenggut paksa bibirnya semalam agar bisa disusupi lidah dan liur nerakanya.
“Hentikan! Ini masih pagi! Manshor harus sekolah, dan dia harus sarapan. Kau duduklah bila ingin kopi dan bubur gandum!” pekik Leeya.
Lelaki itu mendengus, seraya menarik lagi kursi yang ia duduki semula. Mendung Siag Bolong mencoba mendekati dua bocah Leeya tapi mereka terlalu takut dan memilih berdiri di belakang ibu mereka.
“Kuingatkan padamu, bocah tengik! Kau hanyalah anak kemarin sore! Kau masih…” sembari menunjukkan isyarat jari—menandakan putra pertamanya itu begitu remeh baginya. Tapi di satu sisi, ketika tatapan Manshoor tak juga mereda dari nanar dan tajamnya, ada sedikit cemas dan pupil memerah—seperti serigala terluka.
Sementara itu, pikiran Manshoor terasa berputar-putar. Ia jadi ingat beberapa hari ini Manshoor selalu mendengarkan ocehan Pak Kareem, yang begitu mengagumi sosok ayah tentaranya—sesuatu yang tak pernah bisa ia rasakan—karena tak ada sesuatu yang ia kagumi dari ayahnya—apalagi kagum, sedikit hormat saja tidak ada di dalam benaknya—kecuali rasa takut, sewaktu-waktu si lelaki laknat itu akan menghancurkan siapapun di rumah ini. Termasuk Leeya. Entah mengapa ia merasa berempati dengan keadaannya. Kenapa pula perempuan itu mau kawin dengan Mendung Siang Bolong. Kembali lagi ke urusan tentara. Ya, Manshoor yang sangat mengagumi obsesi Kareem pada masa-masa gemilang ayah tentaranya itu, membuat sepercik harapan pun muncul darinya. Semata-mata untuk membuat Mendung Siang Bolong itu bungkam. Maka, ia berterus terang pagi itu.
“Aku akan jadi tentara… bertarung melawan musuh-musuh negara…setelah lulus aku akan daftar militer… aku tak akan menyusahkan kalian lagi. Setelah berada di asrama militer, aku akan hidup untuk hidupku sendiri, dan mengirimkan uang bila kalian membutuhkannya, ” kata Manshoor, mengatakan apa yang jadi bahan pikirannya selama ini dengan kepala tunduk. Leeya pun sedikit kaget, tapi perempuan itu bisa bersimpatik akan cita-cita yang baru dibangun oleh Manshoor—sesuatu yang tak pernah terpikirkan oleh perempuan itu bahwa Manshoor yang semula bengal dan cenderung memberontak, sehingga kerap jadi samsak bajingan itu, kini malah jadi sosok yang seharusnya bertugas menjaga keamanan. Memang, ia sudah mulai melihat perbedaan sikapnya selama beberapa hari ini. Dimulai sejak sarapan pagi itu, ketika Leeya menasehatinya. Manshoor jadi lebih penurut dan sering membantu pekerjaan rumah. Ia pikir, mungkin ia telah menemukan sesuatu yang membangkitkan kesadaran akan hidupnya di masa depan kelak,
Akan tetapi, bukannya bungkam, atau sekadar mengapresiasi mimpi putranya, Mendung Siang Bolong, secara refleks segera menarik tangan Manshoor. Diseretnya keluar rumah. Bocah itu diam saja, bahkan ketika kepalanya terantuk dinding dan lemari. Ia pun berusaha membendung air matanya agar tidak tumpah. Sementara Leeya, sudah terdengar histeris dari arah dapur; ia sempat menggapai-gapai suaminya agar berhenti mendera putra pertamanya yang dia anggap gagal itu. Tapi percuma saja. Lelaki itu memang sudah kerasukan setan.
“Apa yang kau lakukan! Dia hanya mengungkapkan keinginannya!” pekik Leeya.
“Kau tidak tahu apa yang akan kau lakukan ketika menjadi tentara, bocah tolol! Kau mau menyeret kita ke peperangan, hah?! Kau akan membunuh kami! Kami tidak punya uang untukmu mendaftar militer, dan dengan otak kosongmu itu kau tiba-tiba ingin jadi tentara! Memang tolol kau brengsek! Enyah saja dari rumah sekarang juga, bangsat! Anak setan!”
“Kalau aku anak setan! Aku tetaplah anak, dan kaulah yang setan!”