Angin tipis itu masih bersemayam di sekujur permukaan kulitnya. Manshoor tak bisa merenggutnya dari tubuh. Tak peduli ia garuk hingga luka menggaris di sana-sini, angin tipis itu seperti membadai dan berputar-putar di seluruh tubuh. Terutama di kedua lengannya. Jemarinyan pun tak berhenti bergetar, sehingga ketika komandan memerintahkan menembak siapapun yang dianggap memberontak, tak pernah selalu tepat sasaran. Apalagi ketika truk mereka berada di sekitar perbatasan kekuasaan pasukan Dinasti Assad dan kelompok radikal yang mengaku kalangan fundamentalis—orang-orang berbendera hitam itu mestinya dihabisi oleh peleton mereka, namun dari semua tentara yang bekerja cukup baik, hanya Manshoor yang tak pernah bisa membunuh dengan akurat.
“Seharusnya kau mengincar kepala! Kenapa kau ini?! Manshoor!” pekik Azis.
“Jemariku! Jemariku seperti akan hilang…”
“Jangan bercanda, tolol!” pekik Azis lantas mendorongnya lebih ke bagian dalam truk, lalu berteriak pada Manshoor agar ia pun ikut tiarap, sementara ia terus menembak satu demi satu kelompok yang juga berada di sebuah truk yang melaju di seberang jalan. Nampaklah adegan saling tembak, serupa film-film Amerika yang dulu sering Manshoor tonton pun terjadi pula. Dulu, Manshoor terkagum-kagum ketika menonton kaset film aksi perang itu dari sebuah warung rental di pasar, tapi kini semua pemikiran itu berubah. Memang perang seharusnya cukup dikhayalkan sebagai sesuatu genre penghiburan belaka. Tak perlulah direalisasikan, karena kegilaan dan kelaparan akan merebak di mana-mana.
Ketika Azis mengincar satu demi satu kepala untuk dibidik, dan peluru bedil menyosor kepala mereka dengan mulus, Manshoor seolah melihat sosok Rambo di perawakan kawannya. Akan tetapi, ketika mobil mereka mulai menjauh, dan merasa kelompok radikal itu tak lagi menyerang, Azis lengah. Saat kawan di akademi militernya itu balik badan ke arahnya. Pelor musuh pun menyosor kepala Azis pula. Lebih tepatnya merangsek ke tengkuk lehernya, sehingga dalam seperkian detik saja, ia semula ingin merayakan kemenangan karena telah memuncratkan delapan kepala musuh, mendadak senyum itu melumer bersama darah. Matanya sekejap kosong dan tubuhnya ambruk tertelungkup.
“Azis! Azis!”
Beberapa tentara berteriak, dan menarik tubuhnya. Lehernya benar-benar koyak. Pelor yang menancap di tulang leher dan tengkoraknya, otomatis meledakkan isi kepalanya, yang membuat ajal begitu mudah tercerabut dalam diri Azis. Setelah itu, yang tersisa tinggallah cangkang. Tak ada yang istimewa tanpa jiwa: hanya daging dan darah.
Jujur saja, Manshoor tak merasakan apapun. Tak peduli beberapa kawannya mengamuk karena Manshoor hanya bisa diam, ia memang tak merasakan apapun lagi. Justru yang paling ia kesalkan adalah rasa dingin di kedua tangannya, yang mengacaukan akurasi menembaknya.
Siang itu, di perbatasan yang sama, truk batalion mereka kembali mengontrol area di perbatasan timur daerah kekuasaan Dinasti Assad. Kelompok radikal itu tidak menampakkan diri dalam jumlah besar. Mungkin karena sudah dibantai oleh Azis, yang ironisnya mengorbanan jiwanya pula, pikir Mustofa, seorang letnan yang memimpin pasukan kecil mereka.
“Kau tampak tak baik-baik saja, Manshoor… apa karena perintah menembak di kampung halamanmu itu? Itu sudah beberapa minggu lamanya… kita sudah bukan di Damaskus lagi… kita berpuluh-puluh kilometer dari Palmyra…” katanya seraya memanggul senjata dan membidik ke arah jalan-jalan di sekitar gunung-gunung batu dan padang pasir yang gersang. Namun, sebentar ia menarik senjatanya, tatkala ia memastikan tak ada musuh yang mengincar kepala mereka. Tampaklah keduanya berada di belakang truk, menangkel di pintu penutup, seraya menatap jalan yang meninggalkan mereka.
“Hey…” kata Mustofa seraya menyenggol Manshoor yang hanya nampak menatap jalan menjauh itu sambil bercangkung kaki. “Kau mendengarkanku, bukan? Apa karena Azis tewas?”
“Bukan?”
“Karena kau membunuh ayahmu sendiri di Daraa?”
“Bukan…”
Mustofa mengembuskan napasnya, ia setengah mendengus, lalu meminta salah seorang bintara untuk mengambil minuman untuk menjernihkan akalbudinya.
“Aku berharap kau tidak kehilangan akalmu lebih cepat, kawan. Setelah ini, sesuai perintah Bashar Al-Assad, kita mesti menghadapi oposis, Halab… mereka semua harus dimusnahkan karena sudah mengobarkan kekacauan yang membuat kita perang saudara…”
Tak lama, Manshoor malah terkekeh sinis. Hal ini membuat sang letnan mengernyitkan keningnya.
“Kenapa? Kau tidak setuju? Aku adalah komandanmu, lho.”
“Aku tahu…” kata Manshoor.
“Bicaralah. Apa kau memang semurung ini? Kau memang tak pernah terlihat merecok atau mengoceh hal-hal omong kosong. Untuk itu aku suka, tapi dengan menyimpan penentangan dalam kelompok kita… kau berada dalam bahaya, kawan… salahmu sendiri, kenapa dulu masuk akademi militer… sudah pasti Assad akan menggunakan kita untuk menumpas segala oposisi dan gangguan beracun lainnya…” cerocos Mustofa.
“Mungkin bagi mereka, kita adalah akar masalahnya…” ujar Manshoor.
“Perlukah aku menghajarnya supaya otaknya bisa bekerja lagi?” ujar tentara lainnya. Namun, si letnan yang tak ingin ribut dalam ketenangan yang begitu mahal mereka dapatkan ini, memilih untuk membiarkan Manshoor mengoceh, toh semua bintara sudah melihat bagaimana jiwa Manshoor perlahan tapi pasti berongga, dan akalnya mulai menguap bersama ajal nama-nama yang ia kenal.
“Tak ada kebenaran sejati…” kata Manshoor mengembuskan napasnya.
“Teruslah mengoceh, Manshoor… “
“Tak ada …”
“Ya, tak ada…” Mustofa meneguk minumannya, seraya menyeringai melihat tingkah Manshoor, yang kini nampak melilitkan syal yang ia pungut dari mayat Abbas, seorang penjaga warung di dekat rumahnya dulu. Ia tak hanya melilitkan syal itu di lehernya tetapi juga mengikatnya, hingga suara Manshoor pun mulai terdengar menjerit, ia terus menggumamkan, “tak ada… tak ada lagi kebenaran sejati… tak ada… semuanya kosong… semuanya tak ada… tak ada apapun,” makin lama suaranya makin melengking, dan tentara lain malah tertawa terbahak-bahak melihat tingkahnya.
Tapi tawa mereka berhenti sesaat ketika Manshoor mulai berdiri dan menodongkan senjata ke langit, seolah percaya semua kesalahan dan kekacauan yang terjadi di tanah kelahirannya ini merupakan kesalahan langit. Ia menembakkan pelor berkali-kali ke udara, hingga Mustofa menendang kakinya, dan Manshoor pun terjungkal keluar dari truk. Berguling-gulinglah ia di jalanan. Lalu tertidur saja ia. Bahkan Manshoor bahkan tidak memedulikan rasa sakit atas benturan saat ia terjatuh dari truk yang berjalan cukup kencang itu. Ia tak peduli pada lecet yang kini merebak di permukaan kulitnya, dan itu membuat rasa dingin makin membeku di kedua lengannya.
Ia telah lemah, dan pasrah saja bila ia memang harus mati hari itu. Yang ia lakukan saat itu hanyalah menatap langit yang begitu biru bersih. Tanpa gangguan awan kelabu atau putih.
Di saat yang sama, truk yang mengangkut timnya pun nampak berhenti di jarak 200 meter. Truk nampak mundur dan benar-benar berhenti. Mustofa, sang letnan turun dari truk militer tersebut, bersama dua bintara lainnya. Namun, Mustofa memerintahkan dua bintara itu untuk tetap berada di truk, sebab ia ingin menyeret sendiri Manshoor yang kehilangan akal itu.