Satu kata yang tak akan pernah luput dan lenyap dari otak Nadin soal Lembu. Sinting. Dia memang sinting, dan bisa-bisanya perempuan itu mau saja percaya bahwa ia pun sama seperti pria itu: seseorang yang sadar bahwa hidupnya ada di dalam sebuah dunia rekaan, dunia ilusi, tempat di mana seseorang bisa mewujudkan imajinasinya. Asalkan mereka sadar bahwa mereka bukan berasal dari dunia—tempat di mana kaki mereka berpijak.
“Apa yang kupikirkan di rumah itu, sungguh keterlaluan… kau membawaku ke air terjun dan aku harus bersila di atas batu, tepat air itu jatuh! Kau gila, apa!” Nadin sungguh tak menduga lelaki ini akan memiliki pikiran sejauh itu.
“Aku tahu kau bisa mengikutinya.”
“Kau pikir ini Ko Phing Ho!”
“Kita memang ada di dalam dunia persilatan.”
“Jangan ngawur! Kau memang sinting! Gila! Kau pikir aku ini siapa?! Panji Sembara?! Nyi Demang dari Senopati Pamungkas?!” sembari meloncat-loncat kecil di bebatuan lembab. Ia benar-benar mesti memerhatikan langkah bila tidak ingin terpeleset, apalagi semakin ia mendekati batu besar yang ditunjuk Lembu, aliran sungai makin deras.
“Kau baca karya Arswendo? Baiklah, kalau kau Nyi Demang, maka aku adalah Upasara Wulung,” katanya seraya terkekeh-kekeh, mengikuti setiap langkah loncat Nadin.
“Jangan bercanda! Kau tak pantas menjadi pendekar berjiwa ksatria seperti itu…” ucap Nadin sembari memanjat batu kali itu, dan mulai coba bersila seperti Buddha di sana.
“Bukan… bukan yang itu.”
“Kau menunjuk ini tadi saat di atas!”
“Bukan. Tapi yang berada di bawah air terjun. Persis di situ,” kata Lembu menunjuk ke sebuah batu lempeng yang ditonjok habis-habisan oleh air dari ketinggian—mungkin sekitar dua puluh meter. Nadin pikir, akal manusia ini sudah putus dan entah sisa potongannya mendarat di mana. Tentu saja, ketika Lembu menunjuk ke arah batu tersebut, Nadin lantas memelototinya. Ia nyaris melayangkan tinjuan ke wajah tirus yang kerap berhias senyum sok polos, dan bagi Nadin itu sangat menjengkelkan. Terlebih, pesulap yang makin kesohor ini bertingkah sok bijak, “Tenanglah, Nadin. Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam penguasaan dunia ilusi ini, kau sungguh-sungguh harus bisa mengendalikan dirimu sendiri, karena itulah sumber dari kekuatan dirimu. Ada di sini,” Lembu lagi-lagi menunjuk ke kepalanya, seolah ingin mengingatkan Nadin kalau perempuan itu masih punya kepala.
Nadin lantas berpaling, setelah tatapannya menikam wajah cengengesan Lembu yang berdiri beberapa meter di seberang batu besar yang semula diduduki Nadin. Perempuan itu melangkah dengan sangat hati-hati di pinggiran sendang besar. Kabut air pun mulai menyapa permukaan kulitnya sehingga gigil pun segera mendera.
Sebentar, ketika Nadin hendak naik ke batu yang ditunjuk Lembu, ketakutan pun menggelayuti tubuhnya. Ada sedikit gigil, apalagi setelah sadar betapa deras dan nyaringnya suara air berkubik-kubik tumpah ruah, bahkan ketika Nadin mendekat, bola mata perempuan itu nyaris mencolot dari kelopaknya, karena tonjokan air bahkan telah membuat lekukan yang cukup mendalam pada permukaan batu.
Seketika itu juga Nadin menoleh ke arah Lembu.
“Kau ingin membunuhku, hah?! Jika aku tidak bisa bertahan. Aku akan terbawa arus dan tenggelam di wilayah dalam itu!” pekik Nadin menunjuk ke luar dari kabut hasil tubrukan air tersebut.
“Percayalah.”
“Brengsek!”
“Lupakan ketakutanmu… tak ada suara apapun selain suaraku…”
“Kau benar-benar hanya akan menghipnotisku, supaya aku percaya semua kata-katamu! Sialan!” Nadin menelan ludahnya ketika melihat gumpalan air menghempas ke arahnya. Begitu juga kabut dan hawa dingin yang terasa makin menyelubung ke sekujur tubuh Nadin, tatkala perempuan itu makin dekat dengan batu berbentuk lempeng dan mencekung.
“Kalau aku hanya menghipnotismu, untuk apa aku repot-repot melatihmu di tempat seperti ini. Sejak di rumah saja aku menghipnotismu supaya kau bisa melakukan suatu hal yang kau sebut itu sebagai kesaktian… ayo! Bukankah kau ingin membuktikan? Kalau kau tidak bisa melakukan apa-apa setelah latihan, kau boleh bilang bahwa aku memang sinting dan dunia ini benar-benar realitas yang nyata! Dan kalau kau mati saat ini juga… maka tak ada yang perlu disesalkan lagi? Jika kau ingin mati… sesumbar ingin mati… bukankah ini waktu yang tepat? Tapi, aku tahu…” Lembu sudah duduk bersila seperti seorang patapa di sebuah batu, tempat yang semula. “Aku tahu ketakutanmu juga besar…”
“Aku tidak takut!”