Nadin Membunuh Nostalgia

Ardi Rai Gunawan
Chapter #28

Bab 28


 

Sejak ia menciptakan kuntilanak yang berguna menakut-nakuti warga di sekitar rumah, yang semula dianggap kosong tersebut, Nadin sudah melakukan beberapa eksperimen di dalam rumah, sekadar membuat dirinya yakin bahwa memang dunia yang ia tempati bukanlah dunia nyata sebagaiamana yang selama ini ia rasakan. Memang kala ia merasakan hangat matahari, tak ada yang ganjil dari sinarnya, dan ia pun merasakan hangatnya. Pemikiran dangkalnya semula menganggap bila seseorang berada di dalam mimpi, orang tersebut tidak akan sakit ketika ditampar bahkan dipukul tapi nyatanya tak demikian. Ia tetap sakit saat ditampar ataupun jatuh; juga seringkali dalam mimpi memanipulasi rasa hangat dan dingin yang termanifestasikan dalam suatu cerita absurd, sekaligus sungsang. Nyatanya ini memang teramat nyata, sehingga siapapun akan menganggap Lembu sinting, seperti dirinya. Singkat kata, ini memang bukan dunia nyata, tapi siapapun yang menciptakan dunia ini sungguh  sinting sekali, berkali-kali lipat daripada kesintingan Lembu. Saking sintingnya ia bisa membuat dunia rekaan sesempurna ini sehingga siapapun tak akan menyadari mereka telah berada di dunia palsu, sampai mereka mengerti bahwa mereka adalah entitas yang tak sadar.

           Siapapun yang menciptakan dunia ini memang benar-benar nyata. Nyaris sempurna. Ia tidak melihat keledai terbang menyambut sinar matahari, atau kupu-kupu raksasa yang menutup cahaya rembulan, atau tinggal di sebuah tempat aneh—seolah-olah ia hidup di dunia yang diciptakan oleh Tolkiens, yang mana adaptasi filmya bagi Nadin sangat membosankan. Beberapa kali ia menjumpai film fantasi itu di TV, Nadin tak pernah selesai menontonnya. Pastilah selalu tertidur.

           “Kau sudah cukup menciptakan banyak hal selama Lembu pergi… mungkin jika dia kembali, ia akan terkesima melihat perkembanganmu,” ujar si Kuntilanak yang diciptakan oleh Nadin. Jika tidak sedang bertugas menakut-nakuti bocah-bocah dan warga yang mulai penasaran dengan rumah tersebut, ia sering berada di dekat Nadin. Hadir seolah seperti kawan—yang tak pernah dimiliki oleh Nadin selama ini. Mengingatkan ia akan sosok Roslina—dan karena itu pula, tanpa wajah mengerikan dengan darah menetes-netes dari kedua matanya, dalam keadaan tak bertugas, ia tampak sebagaimana manusia biasa. Wajahnya tanpa sadar sedikit mirip dengan Roslina, yang membuat Nadin sama sekali tidak merasa takut akan kehadirannya: tentu saja, mahluk ini diciptakan oleh imajinasi Nadin—yang seharusnya sudah bisa membuktikan bahwa perkataan Lembu benar adanya.

           “Kau menciptakan taman bunga… di sekitar halaman rumah yang semula tandus… lihatlah.. seharusnya ini sudah bisa membuatmu yakin.”

           “Aku yakin.”

           “Kau belum yakin. Jelas sekali dalam pikiranmu… lihatlah.. mana ada tulip tumbuh sesubur dan sebesar ini di negara beriklim tropis. Ini bukanlah negara ataupun kota yang nyata… dan aku pun tak nyata… aku tak ada… aku hanyalah wujud dari kewaspadaanmu, juga kerisauanmu akan keadaanmu sendiri di rumah ini,” kata Kuntilanak itu seraya melihat kedua telapak tangannya yang pucat.

           Sementara Nadin, ia nampak duduk santai menonton taman bunga ciptaannya, dikawani Kuntilanak itu, juga sepiring biskuit ala Inggris, dan teh tawar yang berhasil membuat senja di rumah lawas itu terasa lebih menyegarkan.

           “Aku harus membuat sesuatu yang lebih bombastis lagi…” gumam Nadin sembari menggigit biskuit dan melihat lebah-lebah berdatangan, terpikat dengan benang-benang sari bunga yang ia tumbuhkan.

           “Kau sudah membuat sebagian ruangan di dalam jadi terbalik… meja, kursi, lemari, ranjang, berada di langit-langit… kalau Lembu pulang pasti dia akan syok sekali… kau pun bahkan sudah mulai bisa tidak memasak… tinggal berpikir saja, segala bahan yang kau beli dari pasar, menjadi makanan; cukup kau letakan bahan-bahan makanan itu di dalam tudung saji…” ujar Kuntilanak seraya menjelajahi hasil eksperimen dari perbuatan Nadin. Di saat yang sama Nadin mendengarkan sebuah radio. Ia pun bahkan bisa mengecilkan suara gramofon dari jarak jauh agar bisa mendengarkan berita terkini.

           “Dan lukisan di kamar ini… alasan kau memindahkan lukisan ini ke ruang tengah… apakah kau ingin menghidupkan sosok di dalam lukisan perempuan ini?”

           “Ya… bisakah kau diam dulu, Kuntilanak? Aku sedang mendengar berita…”

           “Soal Lembu.”

           “Ya…”

           Seorang pembaca berita, terdengar begitu antusias ketika nama pesulap pendatang baru yang makin kesohor itu mengabarkan betapa Lembu, yang semula berjanji akan membuat petunjukan paling provokatif yaitu menghilangkan emas di puncak menara monas—layaknya David Copperfield saat menembus tembok cina atau patung Liberty—benar-benar akan diwujudkan. Seluruh stasiun televisi dan perusahaan media, saat ini sedang berusaha mencari keberadaan Lembu di pasar, dan ketika mereka menemukannya, mereka akan memburu jawaban dari Lembu perihal aksi yang dianggapnya paling fenomenal.

           Sementara si Kuntilanak yang jadi ikut mendengarkan berita itu sembari berdiri, berpangku tangan di samping Nadin, nampak menyerigai.

           “Dengan kemampuanmu sekarang, kalau kau mau kau bisa jadi pesaing Lembu. Bila itu terjadi, hujan uang akan datang kepadamu, Nadin. Dengan begitu, kau tak perlu tinggal di rumah kusam dan menyedihkan seperti ini. Kau bisa membeli sebuah griya tawang di hotel bintang lima. Menjalani kehidupan layaknya perempuan-perempuan hedon. Kaum sosialita, yang selalu jadi bahan gunjingan orang-orang pasar—terutama ketika gerombolan mahluk itu tiba di pasar. Pamer kewibawaan dan membeli maupun menawar apapun yang menurut mereka menarik… kau bisa menjadi seperti mereka… bahkan lebih dari itu… berkencan dengan banak pria-pria penting di negeri ini. Bila perlu raja maupun presiden dari suatu negeri bisa kau kencani, demi mengulik rahasia negara mereka…”

           “Tidak…” kata Nadin mengembuskan napasnya. Ia masih tetap mengunyah biskuit dan sesekali meneguk teh tawar yang harum.

           “Kau tidak perlu jadi sok eksentrik seperti lelaki itu! Itu karena kau bukan dia, dan kau tidak akan seperti itu!” kata si Kuntilanak.

           “Untuk apa merasakan kehidupan seperti itu… perempuan itu pun pada akhirnya tidak pernah mendapatkan apa yang dia mau…” gumam Nadin sembari menopang pipinya.

           “Perempuan itu? Siapa?”

           “Seseorang yang telah membuatku merasakan neraka jahanam.”

           “Sosok yang kau sebut sebagai Batari Durga itu?”

           “Aku salah… mungkin dia lebih buruk dari itu…”

           “Memangnya di mana dia?”

Lihat selengkapnya