Nadin Membunuh Nostalgia

Ardi Rai Gunawan
Chapter #29

Bab 29


 

Kerusuhan di bawah kaki tugu berhenti seketika. Mereka menyaksikkan Lembu berjalan tanpa hambatan di permukaan tugu. Dengan cengengesannya, ia melakukan lari di tempat, untuk menunjukkan bahwa ia memang tidak memiliki alat pembantu apapun. Bahkan ketika salah seorang dari kerumunan berteriak padanya, “coba angkat dua kakimu! Kau pasti akan terjatuh!” Lembu yang mendengar dari atas, lantas melakukannya. Seketika orang yang berteriak padanya hanya bisa membelalak seraya mulut terbuka. Bola matanya nyaris keluar ketika melihat Lembu melayang bersama batu yang kini jadi cincin tugu—ikut mengitari tugu, seolah ia naik suatu wahana di tempat hiburan. Lembu tertawa-tawa. Berpose duduk santai dengan satu kaki diangkat ke kaki lain. Ia bahkan melambaikan tangan kepada orang-orang di bawah.

           “Dia pasti sudah bersekutu dengan jin! Itu pasti! Oleh sebab itu dia sesat! Semuanya! Orang seperti ini akan membawa kalian ke neraka jahanam! Maka, sangat boleh darahnya keluar dari kulitnya!” pekik si pemimpin kelompok dengan toa. Ia bahkan berhasil membelah ombak manusia, kemudian masuk ke bagian dalam monumen, dan keluar ke pangkal tugu, sembari berpidato di hadapan ribuan orang. Beberapa yang tak ingin keimanannya goyah, akan menunjukka raut ketakutan, karena ancaman neraka itu nyata, “kalian akan masuk dan mendapatkan balasan yang setimpal di neraka karena sudah memuja pria yang bersekutu dengan iblis! Kita bersama harus menyingkirkan orang ini!”

           “Apa hakmu membunuhnya!” kata salah satu orang dari kerumunan—ia nampaknya bagian dari kalangan yang hanya menganggap pertunjukan Lembu sebagai bagian dari hiburan semata. Bukan sesuatu yang serius, apalagi sampai menggoncang iman, lebih dari itu, mereka sadar, Lembu tidak pernah memberikan ceramah atau mendoktrin siapapun untuk ikut padanya. Mereka hanya tahu Lembu menampilkan semua kesaktian itu sebagai permainan yang mengasyikkan. Tapi nampaknya perspektif si pemimpin kaum yang mengaku paling fundamentalis itu sangat berseberangan. Lelaki itu nampak terus menyerukan kepada kelompoknya menghalangi Lembu kabur, supaya bisa mereka mengadili Lembu menurut aturan mereka yang dianggap paling benar sejati.

           “Kau sudah disesatkan! Sebaiknya kau pergi dari sini! Lembu adalah pesulap yang meniupkan roh jahat kepada mereka yang melihatnya! Lihatlah para pemujanya! Mereka semua hilang akal, dan mereka pantas diletakkan di kerak neraka karena telah menyangkal keberadaan Yang Maha Berkuasa!”

           Sementara Lembu sudah mulai kembali di tugu secara vertikal.

           “Apakah kau akan menyangkalnya, wahai anak setan! Kau pasti tidak akan menyangkalnya karena itulah kenyataannya! Maka bersiaplah menerima keadilan yang sesungguhnya!”

           “Keadilan menurut kalian? Apakah itu dianggap adil?” kata seorang dari kalangan yang kontrak, dan kaum fundamentalis itu menggap isi otaknya sudah sesat.

           “Dia liberalis. Salah satu kaum sesat! Aku pernah melihat wajahnya di salah satu media!” teriak salah satu orang dari kamu fundamentalis. Ia sudah menunjukkan suatu parang, yang selama ini ia sembunyikan dibalik jubahnya. Ketika ia sudah mengacungkan parang itu di tengah kerumunan. Mulailah kerusuhan kembali. Satpol PP pun nampak tak bisa berkutik ketika pemuda yang masih tanggung itu mulai mengibas-ngibaskan parang secara acak, ke sekitarnya. Satu perempuan terjatuh, kendati ia sudah merunduk, kepalanya tetap kena sabetan, sehingga garis luka memanjang dari daun telinga kanan hingga ke sudut bibir kananya pun tercipta. Seolah ia sedang menyeringai sinis dengan darah menetes-netes.

           “Polisi! Harus lapor polisi!” salah seseorang dari kerumunan berupaya keluar dari ombak kekacauan tersebut. Sementara itu, salah satu dari tim kreatif televisi, meminta produser acara reality show, yang saat ini mencapai rating tertinggi itu untuk menghentikan acara tersebut. Namun, alangkah terkejutnya Alda, anggota tim kreatif yang kini mengenakan payung agar terhindar dari hujan batu, karena si produser sama sekali tidak setuju.

           “Kita harus melanjutkan! Rekam terus! Rekam! Kita akan mendapatan rating super! Super! Super tinggi! Mengalahkan acara-acara di seluruh dunia! Kalau acara ini disebarkan ke seluruh dunia, bukankah kita juga yang untung!”

           “Bukan masalah untung atau rugi! Tapi orang-orang di seluruh dunia akan tahu ketololan kita! Lihatlah! Mereka semua saling serang! Lempar batu! Mengadu parang dan pentungan! Apa kau gila, Produser!”

           “Masa bodo! Ya, Lembu! Terus lakukan! Kita harus mencapainya.”

           Sang produser tetap meneriaki Lembu, yang sudah mencapai puncak tertingginya. Sosoknya nampak kecil di ketinggian kini. Sementara khaos di sekitar tugu makin masif saja. Puluhan orang diseret ke pinggiran taman monumen, karena darah bercucuran. Mulai dari kepala bocor, luka karena sabetan parang, ataupun mereka yang sulit bernapas karena terinjak-injak. Tiga orang nampak pula paling parah karena selain kepala bocor, tubuh mereka pun memiliki luka tebasan parang, belum lagi kedua kaki mereka patah. Seolah lututnya berpinda ke dekat betis, seperti kaki belakang seekor kucing atau kuda.

           “Jangan kau bilang rencana menghilangkan emas Monas itu betulan!”

Alda jadi ingat mata produsernya memang berbinar-binar ketika Lembu menjelaskan rencana pertunjukan fenomenalnya.

           “Memang betulan dasar bodoh!”

           “Tapi, nanti akan dikembalikan lagi, kan?”

           “Kau bodoh! Jika punya sedikit saja emas itu, kita bisa membeli satu pulau! Kalaupun aku ditangkap setelah ini, aku tinggal menyuap mulut-mulut lapar mereka, setelah itu bui akan melepehku ke dunia bebas, dan kita bisa bekerja sama menciptakan acara paling hebat di seluruh dunia!” pekik produsernya sambil berteriak histeris, kemudian naik ke sebuah dua tubuh awak media lain yang kemungkinan sedang sekarat karena terinjak-injak. Dan produser itu masih meneriaki Lembu yang kini sudah di puncak Monas. “Terus, Lembu! Hilangkan emas itu! Dan aku percaya nanti kau menyembunyikannya di suatu tempat! Seperti yang sudah kita sepakati dalam pejanjian kerjasama kerja! Kau harus membagikannya padaku! Ya! Ya!”

           “Kalau itu memang rencana kalian… biar kami bekerja sama…” tiba-tiba sebilah parang telah menempel di leher si produser. Alda pun tercengang. Tubuhnya membeku ketika salah satu dari kaum fundamentalis itu telah berada di belakang si produser.

           “Bajingan tengik! Ikut saja pemimpinmu yang berhalusinasi itu!”

           Lelaki yang mengenakan syal hitam itu tampak terkekeh sinis.

           “Justru karena aku tahu rencana membunuh Lembu sangat tidak masuk akal dan berlebihan, aku lebih memilih ikut rencana kalian.”

           “Menjijikkan!”

           “Terserah…” lelaki itu sudah mengiris sedikit kulit leher sang produser hingga melelehkan air merah yang berdosa itu. “Lagipula, kalaupun dia ingin membunuh Lembu… dia tidak akan berhasil…”

           Sementara itu, Lembu yang sudah duduk santai di puncak Monas, nampak berteriak di tengah kerusuhan. Seorang kameramen di helikopter terus merekamnya, tapi seseorang yang bersamanya (kemungkinan salah satu dari intel), berteriak ke arah Lembu, “hey, pesulap sinting! Sebaiknya kau hentikan saja semua usahamu ini! Korban berjatuhan! Ini bukan rencana yang bagus! Atau kau akan mendekam di bui karena menyebabkan kekacauan! Dan kau akan mendapatkan tuntutan yang lebih sadis!”

           Lembu menoleh ke arah helikopter. Memicingkan matanya.

           “Kau yakin bui akan menahanku? Lihatlah!” tak lama Lembu berdiri ia merentangkan tangannya. Perlahan tubuhnya mulai terangkat. Ia melayang di atas puncak tugu yang terbuat dari emas—sebagai lambang api abadi tersebut. “Saudara-saudara sekalian! Aku memang tidak memaksamu untuk mengikutiku! Aku memang tidak pernah mengucapkan suatu doktrin apapun! Tapi percayalah… kalian semua memang sedang dibutakan! Kalian semua tidak berada di realita yang sesungguhnya! Ini semua hanyalah ilusi! Apa yang kau yakini, apa yang menurutmu sebuah kebenaran, apa yang kau perjuangkan, semuanya bukanlah kenyataan yang sesungguhnya… kini… akan kuperlihatkan pada kalian bahwa mata kalian selama ini terbutakan… inilah kenyataan yang harus kalian hadapi di dunia ini… kenyataannya yang sesungguhnya adalah bahwa dunia yang kalian tempati sekarang tidak nyata…”

           Kedua tangan Lembu mulai menyentuh emas Monas tersebut. Dalam hitungan detik. Puncak tugu pun lenyap, sehingga Lembu bisa berdiri di bekas tempat emas tersebut. Angin pun menggelebarkan tuksedonya. Helikopter terus mengitarinya. Si intel bernama 12321, nampak tercengang. Begitu pula kameramen yang bersamanya.

Lihat selengkapnya