Ia terbang seolah ia adalah Superman. Para pedagang di pasar bila mengingatnya mengenakan celana dalam di luar celana piyama saat mengamen sulap di Pasar Meester Jatinegara pastilah tak pernah menduga bahwa itu merupakan cikal bakal Lembu menjadi Superman. Bedanya, kini ia sama sekali tak mengenakan celana dalam di luar. Tak ada sayap merah bergelebaran. Atau sehelai rambut keriting di dahi. Ia mengenakan tuksedo terakhir kali ia menggelar pertunjukan kontroversial. Kini, gara-gara ia sungguhan menghilangkan emas tugu Monas, beberapa orang malah teramat kecewa, yang mana karena mereka salah ekspektasi. Tentu saja Lembu tak pernah menjanjikan ia akan membagi potongan emas itu, setelah pertunjukan. Lembu mengerti, orang-orang ini, termasuk si oportunis produser reality show-nya itu, juga si hipokrit Rojib yang punya dua wajah, hanya menganggap pertunjukan yang ia lakukan sebagai penampilan sulap belaka. Seni pengalihan belaka.
Mereka tak akan pernah mengira kalau Lembu benar-benar melenyapkan emas itu selama-lamanya. Hal ini menyebabkan orang-orang yang kecewa bergabung dengan mereka yang sudah sejak awal menuduh Lembu sesat. Setiap ia mendarat di suatu jalan yang sudah berubah bentuk menjadi cokelat tart atau permukaan daging licin, membuat mereka lantas datang ingin menghunjamkan senjata tajam ke arah Lembu, seolah lelaki itu adalah hidangan penutup.
“Kita harus hentikan dia! Semua kekacauan ini! Dialah yang menyebabkannya! Kita harus membunuh orang sesat ini!” pekik seseorag, yang seingat Lembu mendukungnya di setiap acara sulapnya. Lembu yang mesti mencari Nadin tentu tak akan ambil keputusan seenak jidat dengan menghabisi orang-orang tak bersalah ini. Lembu hanya berpikir, orang-orang ini belum diberikan terang akan kebenaran. Maka, tak punya alasan bagi Lembu untuk memberikan bencana kepada mereka. Lagipula, bukan tugasnya melakukan itu.
“Kemari kau!”
Tapi, Lembu yang kakinya sempat tertancap di permukaan jalan yang telah berubah menjadi kue tart itu lantas kembali melayang.
Namun, baru beberapa menit ia keluar dari area Sudirman yang sudah kacau itu, mendadak langit menggelap. Badai dan petir menyambar-nyambar; kilatnya nyaris menancap di betisnya, nyaris mengikat punggung dan lengannya. Puyuh turun, hambat laju terbangnya, sehingga ia mesti meliuk-liuk demi keluar dari badai tersebut—seolah semesta rekaan itu pun ingin menghabisinya. Bersatu dengan orang-orang yang tak tahu apa-apa soal dunia yang disinggahinya.
“Ini pasti karena kehadiran kami yang mulai terlihat oleh pencipta dunia rekaan ini… mereka menganggapku racun yang perlu dihabisi…” belum selesai Lembu bicara. Ketika ia hinggap di puncak sebuah gedung, matanya membelalak, ketika cahaya-cahaya merobek awan gelap itu kemudian bebatuan besar meluncur dari lubang awan tersebut.
Dalam seperkian detik, hujan batu lantas meringsek ke jalan, rumah, membakar pohon, meledakkan gedung DPR, dua meteor terjun tanpa terbendung ke istana negara, alhasil, siapapun yang hidup di tempat mahapenting itu kini pasti telah hijrah ke lain dunia. Tak terkecuali orang-orang penting dan mahapenting. Menyadari hal itu, Lembu nyengir. “Tahu begini dari dulu aku melakukan hal seperti itu…” tapi kini meteor-meteor itu pun tak pilih-pilih. Satu yang seukuran pos jaga perumahan meringsek ke tempatnya berada. Untung saja Lembu sigap menghindar dan segera menghancurkan batu itu jadi bagian-bagian kecil dengan meniupnya.
Dua hari dua malam ia berada dalam kondisi seperti itu. Malam tak berakhir. Meski ia yakin sudah pagi, malam ta berakhir. Hujan meteor yang sempat berhenti kembali menabrak Jakarta. Segala jerit histeris, menggema lamat-lamat. Semuanya meminta tolong. Bertobat. Rumah ibadah dari berbagai agama penuh; memohon kepada sembahan mereka agar bisa dilindungi dari kiamat kecil ini.
Di saat ini pula ia melihat pasukan berzirah dan berkuda, dengan sayap-sayap putih besar, dan topeng perak berkilau turun dari langit. Jumlahnya tidak hanya satuan atau puluhan. Tapi ribuan! Mereka turun bukan untuk menghabisi orang-orang yang memadati setiap rumah ibadah ataupun yang lari tunggang-langgang, mencari tempat persembunyian. Tidak. Mereka tidak menancapkan ujung tombak berkilatan itu ke orang-orang malang itu. Tetapi kepadanya. Lima ksatria datang memberi kabar, “ kalian telah merusak keseimbangan! Tak perlu menyalahkan siapapun atas ini!” kata seseorang yang menganggap diirnya sebagai
“Aku tidak menyalahkan siapapun.”
“Menyerahlah.”
“Jika aku menyerah maka aku mati.”
Mengetahui hal ini, tentu ia tak bisa tenang karena Nadin akan mengalaminya pula. Dan benar saja, Nadin serta Meylin, kuntilanak itu, kini pula sedang terbang ke sana-ke mari menghindari pasukan berzirah perak. Entah luncuran tombak maupun anak panah meluncur ke arahnya. Betis Meylin—yang kini berubah jadi kuntilanak—membawa Nadin melayang-layang di langit menjadi korban.
“Tak kusangka panahnya bisa melukaiku. Padahal kini aku dalam mode jadi hantu! Dan siapapun atau apapun yang kusentuh akan menjadi halus pula, termasuk dirimu… tapi nampaknya mereka bisa mengenaiku!”
“Kupikir aku terlalu berlebihan…”
“Memang. Bukankah sudah kuingatkan. Cukup mengubah orang-orang itu jadi gagak… tapi kau banyak melakukan eksperimen.”
“Apa boleh buat… kita kembali ke rumah. Aku punya firasat, Lembu pasti dalam situasi seperti ini.”
“Lalu bagaimana cara kita menghindari mahluk-mahluk dari langit itu?!” kata kuntilanak meliuk-liuk di angkasa suram, dan sesekali pandangan mereka menatap ngeri bintang-bintang yang berjatuhan ke suatu tempat.
“Berhenti!” kata Nadin.
“Kau mau apa?! Mereka semakin dekat!”