Nadiah terbangun di bak mandi dalam kepung air hangat. Tubuhnya yang dipenuhi memar serta bekas ikatan tali itu lantas keluar. Ia menutup tubuhnya dengan handuk. Roslina menyiapkan pakaian, juga makanan untuknya.
“Hujan belum berhenti…” gumam Roslina berbasa-basi. Mereka tampak makan di meja makan yang sama. Wajah mereka pun sama pula menghadap jendela berembun. Badai sedang meradang di sekitar Puncak. Mata Nadiah bisa menangkap batang dan pokok pakis terangguk-angguk dengan liar seolah mendengar musik metal.
“Aku sempat bermimpi. Tapi itu cukup nyata. Kita sedang dilanda hujan meteor, lalu lubang hitam besar muncul di atas Jakarta. Menghisap apapun yang ada di permukaan bumi maupun di langit. Bumi ikut terhisap.”
“Mungkin karena kau menonton video sains tentang alam semesta,” kata Roslina sembari mencabik ayam penyet, lalu melempar ayam itu ke mulutnya bersama selada. Nadiah yang melihat itu, mengingat dirinya berubah jadi spageti. Mungkinkah lubang hitam itu adalah mulut Roslina? Pikir Nadiah. Tapi, itu hanya mimpi. Sembari melihat cerminan dirinya di gelas, ia tampak menyeringai.
“Padahal tadinya mau kuajak kau ke kebun raya di Cipanas.”
“Kau tak bisa mengendalikan hujan.”
“Seandainya aku bisa… apakah ada suatu mantera khusus?”
“Tak ada. Hanya perlu sadar bahwa kita tidak hidup di dunia yang sebenarnya.”
Roslina mengernyitka kening.
“Aku tak mengerti, Teh.”
“Lupakan. Lagipula itu hanyalah angan-angan belaka. Ah, Roslina. Kuharap pagi besok, kita bisa sarapan spageti,” katanya seraya melirik sebilah pisau dapur di tempat sendok.
Malam harinya, tubuh Nadiah kembali terjerat oleh tali jahanam. Ia kembali menari di atas tubuh Wan Abud. Namun, pria laknat itu nampak tak menikmatinya. Nadiah berkata, lebih baik kau sewa lonte yang lebih murah daripada harus hidup denganku, merenggut seluruh kebebasanku. Anehnya, malam itu, Abud tidak seperti malam-malam sebelumnya. Gairah seperti kabut yang menguap. Entah karena apa. Ia mengangkat tubuh Nadiah, membiarkan daging basah itu dengan cepatnya meletoy. Tanpa mengenakan celana, ia hanya duduk di tepian ranjang.
“Kau seharusnya menamparku. Menyiksaku sebagaimana biasa. Bukankah itu merupakan hinaan,” kata Nadiah, sembari diam-diam mengambil sesuatu di laci meja nakas—tepat di samping ranjangnya. Begitu pula dengan Wan Abud. Ia membuka sebuah lemari, lalu menarik suatu benda—yang berhasil menciptakan gigil di sekujur tubuh telanjang Nadiah. Matanya membelalak. Ia tahu koper itu! Abud pernah mengancamnya dengan menunjukkan revolver-revolver yang ia bawa dari bengisnya perang. “K-Kembalilah ke istrimu di Jakarta… kembalilah ke keluarga Basyarewan yang menampungmu di sini… kumohon…” Nadiah memelas. Tapi ia sudah merengkuh pisau dapur di punggungnya. Dan kini ia nampak mengambil ancang-ancang. Napasnya memburu seraya menatap punggung pria yang begitu damai.
Namun, suara jemari pria tenang itu ketika membuka koper dan terdengar merakit sebuah senjata, tentu sempat membuat Nadiah berpikir dua kali. Mungkinkah ini jadi akhir hidupnya. Ia sempat ingin pasrah, karena sudah lama ia ingin mati saja, menyusul ibu atau mungkin adiknya—yang tak tahu bagaimana nasibnya kini. Apa masih di Bandung—atau mungkin sudah ditransfer ke lain tempat.
“K-Kau tak ka-kasihan dengan istrimu!”
“Dia tidak pernah mencintaiku. Dan kami tak mencintai. Kami menikah karena merasa sudah selayaknya menikah. Kau tentu tahu…” terdengar Abud mengembuskan napasnya. “Malam ini… aku sudah kehilangan rasa … sepulang dari pasar di Tanah Abang. Aku hanya terdiam di kereta. Lalu naik angkot ke mari. Menembus hujan. Dingin airnya terasa tak hilang di punggung tanganku.”
Ia hendak menoleh. Namun, Nadiah dengan cepat membentak.
“Jangan menghadapku!”
Terdengarlah tawa kecut dan pesimistik.
“Kau pikir, ketika bercinta, dan kau selalu menunjukkan raut sedih begitu, aku akan bersimpatik?! Aku akan kasihan?! Tidak! Kau telah menyeretku ke dunia hitam ini! Ke neraka jahanam ini! Kau … lebih buruk dari iblis itu sendiri.”
Tawa kecil Abud semakin menggigilkan tubuh Nadiah. Perempuan itu merasa Abud sudah mulai menarik kokang. Ia akan melepaskan pelor dalam keadaan belalainya terayun-ayun. Sungguh jika itu yang memang terjadi, itu akan menjadi pemandangan terakhir yang menyedihkan bagi Nadiah. Sekarat sembari melihat kemaluan pemerkosanya terayun-ayun di depan matanya. Bangsat memang lelaki ini, gemuruh batin Nadiah memuncak. Ketakutan dan bimbang yang semula merasuki dirinya kini menguap, keluar dari ubun-ubun yang tampak berasap. Ia tak bisa menunggu lagi. Setelah menyaksikkan montase nostalgia mengerikan tentang separuh kehidupannya, tentang mimpi perubahannya jadi spageti, ia lantas melayangkan pisau dapur itu ke punggungnya.
Tak hanya sekali. Dua, tiga, hingga tujuh tusukan ia tancapkan ke tubuh Abud, yang masih geming saja. Napasnya kemudian memburu. Ia menjerit, dan tunggang langgang dari ranjang menuju ke arah pintu. Tapi, untuk memastikan pria laknat itu sudah tewas, ia tetap mengawasi dari sudut ruangan yang remang.