Jakarta, 13 Mei 2023.
Vivian terlihat sangat cantik dengan dress putih selutut berbahan tulle yang mengembang di bagian bawah. Ada pita besar di bagian punggung, membuatnya terlihat manis. Dia berlari-lari kecil memasuki ballroom sambil membawa handycam silver hadiah dari Papa. Vivian merekam semua yang terlihat mata, mulai dari wedding cake tiga tumpuk, kelopak mawar pink yang cerah, pelaminan yang begitu megah, hingga aneka hidangan di atas meja prasmanan. Vivi juga merekam air mancur cokelat yang tampak lezat, juga stroberi dan anggur hijau yang ditusuk. Air liur Vivi nyaris keluar.
“Jangan cuma direkam, tapi dimakan.” Seorang koki menyodorkan stroberi tusuk. Bibirnya mengulas senyum ceria. Di dada kanan-nya, ada nametag bertuliskan Rudy dengan jabatan head chef. “Atau kamu lebih suka anggur? Atau bluberi?”
Rudy menyodorkan semua buah itu ke hadapan Vivian dengan antusias. Mungkin karena Vivi terlihat lucu dengan tiara berwana pink, atau kacamata bulat lebar yang bertengger di hidungnya yang mungil.
“Aku nggak boleh makan cokelat.” Vivi menggeleng. Dia hanya mengambil satu stroberi tusuk dari tangan sang koki. “Tapi aku boleh makan buah.”
Iya, Vivian memang enggak boleh makan cokelat, tapi diam-diam dia suka makan kue keranjang. Meskipun bukan imlek, tapi Vivian bisa membeli kue itu di toko dekat sekolah. Diam-diam sebelum pulang, Vivian selalu mampir untuk membeli beberapa. Di saku rok Vivi sekarang juga ada kue keranjang kesukaannya. Kalau Mama tahu, Vivi bisa dimarahi. Tapi toh, Vivi paling ahli kalau urusan menyembunyikan sesuatu.
Rudy terkekeh kecil. “Kalau begitu, bawa semuanya. Jangan cuma stroberi.”
Vivian menggeleng. “Enggak.” Tatapan Vivi mengarah pada risol yang dibungkus plastik. Vivi merasa ada sebuah lampu bohlam menyala di kepalanya. “Kalau begitu, aku boleh minta tolong?”
“Minta tolong apa?”
Vivian menyeringai. “Tolong isiin risolnya sama cabe. Tiga buah.”
Kening Rudy berkerut dalam. “Kamu suka pedes?”
“Iya. Suka banget.” Vivian tersenyum ceria. Matanya berbinar-binar.
Rudy tertular senyum Vivian dan dengan senang hati melakukan permintaan Vivian, tanpa merasa curiga sama sekali. “Ini dia risolnya.”
“Terima kasih, chef.”
Sambil membawa sate stroberi dan risol mercon, Vivi meninggalkan meja prasmanan dan mulai merekam lagi.
Bunga-bunga yang dijajar di sepanjang jalan menuju pelaminan sangat cantik. Itu adalah bunga mawar putih kesukaan Ayi Nadine, dipadukan anyelir berwarna soft pink.
Ballroom masih sepi karena acara pemberkatan baru akan dimulai tiga jam lagi. Vivi merengek pada Mama sejak tadi malam, bilang ingin datang lebih awal karena ingin melihat Ayi Nadine pakai gaun pengantin, padahal aslinya Vivi sudah enggak sabar buat ngerjain tugas wawancara dari miss Jansen. Sebuah tugas rahasia yang hanya diberikan pada Vivian. Wali kelasnya itu berjanji untuk memberi nilai tambahan jika Vivian bisa mengumpulkan tepat waktu. Tentu saja, Vivian langsung menerimanya. Toh, tugasnya juga gampang banget.
Oh, iya. Biar Vivi ceritakan dulu soal keluarga Koeswandi. Popo Sarah punya empat orang anak, tiga perempuan dan satu laki-laki. Anak pertama adalah Ayi Liliana, yang udah menikah dan punya anak cowok kembar. Sementara anak kedua adalah Lusiana, mamanya Vivian. Satu-satunya anak laki-laki adalah Om Damar yang tidak diketahui keberadaannya. Sementara si bungsu adalah Ayi Nadine, yang akan menikah hari ini. Ayi menikah di usianya ke 43 tahun. Karenanya, pernikahan ini adalah sesuatu yang sangat dinantikan oleh keluarga besar Koeswandi. Semua berbahagia karena si bungsu Koeswandi tak lagi dapat predikat perawan tua.
“Vivian!”
Suara Mama, terdengar menggelegar seolah memantul di seluruh ruangan. Di antara keluarga Mama, memang suara Mama yang paling besar dan melengking. Mungkin karena dulu Mama adalah seorang aktris musikal? Papa pernah cerita awal mula pertemuan mereka di pertunjukan teater hingga jatuh cinta. Kisah yang sudah Vivian dengar ratusan juta kali sampai telinganya berlubang.
“Di sini kamu rupanya.” Mama tiba di depan Vivi sambil bersedekap. Usia Mama sudah kepala lima, tapi Mama masih punya tubuh yang bagus, jadi masih cocok pakai cheongsam berwarna nude pink dengan bordiran burung merak di bagian rok bawah. “Lain kali jangan lari-larian. Mama udah nggak punya energi.” Tatapan tajam Mama langsung mengarah pada bekas tusuk stroberi di tangan Vivi. “Kamu abis makan cokelat?”
Bisa gitu ya, pikiran Mama langsung ke cokelat padahal yang dilihat cuma tusuk sate? Punya Mama yang terlalu overprotective ternyata nggak baik juga untuk kesehatan jantung.
“Enggak, cuma stroberi.” Vivi membuka mulutnya lebar-lebar, menampilkan gigi putihnya yang rapi dan bersih. “Lihat, nggak ada bekas cokelat, kan?”
Mama menunduk untuk bisa melihat mulut Vivi dengan lebih jelas. Ekspresi Mama terlihat serius, seolah tak mau melewatkan satu detail terkecilpun. Sejak Vivi masih kecil, Mama memang seperti itu. Terlalu berlebihan. Dulu Vivi suka kesal dan marah karena sikap Mama, tapi Ayi Nadine bilang kalau Vivi adalah anak yang dinanti-nanti Mama setelah dua belas tahun pernikahan, jadi wajar kalau Mama berlebihan. Belum lagi, fakta kalau Vivi adalah satu-satunya cucu perempuan di keluarga besar Mama. Jadi ya, sekarang Vivi sudah mulai terbiasa dengan sifat overprotective Mama.
“Bagus.” Mama terlihat lega dan kembali berdiri tegak. Dia meraih tangan Vivi lagi. “Ayo kita ke atas liat Ayi Nadine.”
“Papa!” Vivi langsung melepas tangan Mama dan berlari ke arah Papa yang baru datang. Papa dengan sigap membawa Vivi ke dalam pelukannya. Biasanya sih Papa selalu gendong Vivian. Tapi karena sekarang Vivi sudah bertambah tinggi, Vivi jadi tak pernah digendong lagi. Ya, lagian Vivi kan memang sudah dewasa!
“Uwah, Vivi abis ngerekam apa aja?” Papa melirik handycam di tangan Vivi.
“Banyak.” Vivi merentangkan tangan sambil tersenyum. “Oh iya. Vivi tadi mampir prasmanan, liat risol, terus inget Papa.” Vivi mengulurkan risol itu dengan senyum semanis madu.
Papa langsung mengambilnya. “Terima kasih.”
Vivi hanya mengangguk, menatap Papa sambil mundur tiga langkah. Satu gigitan. Satu kunyahan. Wajah Papa berubah merah padam. Dia seketika melotot pada Vivian. “Vivi! Ini risol isi cabe, ya?”
Papa memeletkan lidah dan mengibaskan tangan di atasnya. Vivi tertawa ngakak. Ekspresi Papa lucu banget, sumpah.
“Maaf, kupikir itu risol mayo.” Vivi pasang muka puppy eyes. Papa langsung luluh.
Satu jeweran langsung mendarat di telinga Vivi. Tentu saja pelakunya Mama. “Kamu tuh ya, jail terus kalau sama Papa. Udah tahu kalau Papa nggak suka pedes.”