Nadine Wedding Day

IndaahNs
Chapter #3

2. Perang Dingin Keluarga Koeswandi

 

Lusi mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya ke lantai lift. Matanya naik, menatap anak panah yang terasa bergerak lebih lambat dari biasanya. Lusi benar-benar khawatir jika dia terlambat menemukan Vivian. Hari ini adalah hari bahagia, hari yang ditunggu-tunggu Nadine dan Mama. Enggak seharusnya ada pembicaraan soal tragedi Mei. Sebab hari itu… adalah hari di mana perang dingin antara keluarga Koeswandi dimulai. Hari yang sangat ingin Lusi lupakan.

Saat pintu lift itu akhirnya terbuka, Lusi nyaris melompat keluar. Bibirnya terus-terusan bergumam sambil menatap pintu kamar satu per satu.

401. 401.

Nadine ada di ruang 401.

Langkah Lusi terhenti di depan pintu kamar 401. Dia buru-buru mengetuk. Enggak sadar kalau punggung tangannya memerah karena terlalu keras. Di pikiran Lusi sekarang… hanya ada Nadine. Meski Nadine sekarang terlihat baik-baik saja, tetapi tidak ada yang tahu kondisi mental Nadine yang sebenarnya. Kehadiran Vivian selama ini seperti magnet yang menarik mereka menjadi lebih dekat. Lusi tak mau anak itu juga jadi penyebab pertengkaran di antara keluarga Koeswandi.

Pintu kamar itu terbuka. Muncul Mama yang masih terlihat cantik memakai cheongsam yang serupa dengan Lusi. Rambut Mama juga sudah disanggul dan wajahnya jadi terlihat beberapa tahun lebih muda karena make up. Namun, sekarang bukan waktunya untuk mengagumi kecantikan Mama.

“Vivian ada di dalam?” kepala Lusi melongok. Mama bahkan tak sempat menjawab karena Lusi sudah menerobos masuk. “Permisi, Ma, aku harus ke dalam buat nyegah Vivi bikin kacau.”

Lusi berhasil masuk. Tapi, yang Lusi temukan kemudian hanyalah Nadine yang sedang dimake-up, ditemani beberapa sahabatnya yang hari ini menjadi bridesmaid. Enggak terlihat batang hidung Vivi di mana pun. Tapi karena Vivi itu pintar bersembunyi kayak kelinci, jadi Lusi langsung memeriksa kolong meja, lemari, dan kolong kasur. Berkali-kali seolah satu kali saja nggak cukup. Lusi… jelas terlihat nggak bisa mengendalikan diri.

“Cari apa Ci?” tanya Nadine, yang udah nggak tahan melihat sikap grasa-grusu Lusi.

“Vivian.” Lusi menggigiti kukunya gelisah. Matanya juga terlihat tidak fokus. Jantung Lusi tiba-tiba berdegup kencang. “Tadi Vivi ke sini nggak? Apa ada yang lihat Vivi?”

Nadine menggeleng. “Vivi belum ke sini.”

“Beneran?” tanya Lusi, memastikan. “Tolong jangan bantuin Vivi sembunyi.” Lusi kemudian melirik pintu kamar mandi. “Apa Vivi ada di sana?” Liliana buru-buru membuka pintu bercat putih itu dan nggak menemukan apapun. Dia langsung mundur.

Lusi meremas jari-jarinya kuat. Dia menggigit bibir bawah. Tidak, Lusi tak boleh panik.

“Kenapa aku harus bohongin Cici?” Nadine berujar dengan nada jengkel. “Vivian nggak ada di sini.”

Sarah menepuk-nepuk pundak Lusi dari belakang. Dia berujar dengan nada lembut dan menenangkan. “Tarik napas dulu, Sayang. Ada masalah apa? Cerita pelan-pelan.”

Lusi memejamkan mata sejenak, kemudian mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Padahal sudah lama Lusi nggak pernah sepanik ini. Setelah peristiwa Mei, Lusi sempat menderita PTSD. Dia berusaha mati-matian untuk sembuh, terutama saat dia sedang hamil Vivian dulu. Lusi berusaha sangat keras agar Vivian tak terkena dampak dari gangguan mental yang dideritanya. Tak disangka, hanya karena Vivian tiba-tiba membahas tragedi Mei, Lusi jadi terpicu.

“Enggak apa-apa, Ma. Semua baik-baik aja.” Lusi sudah berhasil tenang. Dia menatap sang Mama lembut. “Aku cuma panik karena Vivi tiba-tiba kabur. Takutnya dia main-main ke rooftop dan nggak ada yang ngawasi.”

“Vivian udah besar, Sayang. Dia pasti tahu jalan.” Sarah meraih tangan Lusi dan menggenggamnya erat. Terasa hangat. “Nanti kalau Vivi datang ke sini, nanti Mama suruh Nadine telpon kamu, ya.”

Lusi mengangguk. Hatinya mulai tenang. “Makasih, Ma.”

Setelahnya, Lusi meninggalkan ruangan. Jika Lusi ingin menemukan Vivian, maka dia harus bisa tenang.

***

Lima menit sudah berlalu dan pasangan suami istri itu hanya saling pandang. Mata mereka seolah sedang berbicara, dengan berbagai mimik wajah. Ada ketegangan yang tak terucapkan. Sesekali mereka membuat gerakan tangan, memutar bola mata dan mendesah. Mungkin ini semacam… telepati antar suami istri? Benar, Liliana dan Tedja sama-sama tahu apa yang dipikirkan. Tentu saja, cara untuk kabur dari pertanyaan Vivian.

Liliana mengibaskan kipas, mendadak kegerahan. “Vivi beneran, dikasih tugas kayak gitu sama bu guru? Yakin nggak ada yang salah? Mungkin tahunnya bukan 98? Tapi 2008?”

“Ayi, emang kayak gini tugasnya.” Vivi memasang wajah jengkel. Dia juga menghentakkan kaki mungilnya yang dibalut sepasang sneakers putih. “Tangan Vivi udah capek nih pegang handycam. Abis acara nikahan, Vivi juga harus edit video-nya buat dikumpulin besok.” Ganti situasi, Vivi pasang muka puppy eyes, berharap bisa meluluhkan hati sang Bibi. “Masa kalian nggak kasihan sama Vivi?”

Liliana mendesah, memalingkan muka. Demi apapun, dia nggak tahan lihat mata itu. Bisa-bisa Liliana langsung luluh.

Lihat selengkapnya