13 Mei 1998.
Aroma kopi hitam menguar dari cangkir keramik di tangan Liliana saat memasuki ruang keluarga. Biasanya, Tedja akan menoleh dan tersenyum hangat begitu aroma kopi tubruk kesukaannya tercium. Tapi pagi ini, seluruh fokus Tedja tersedot pada layar televisi. Sayup-sayup Liliana mendengar suara reporter yang mengabarkan tentang demonstrasi mahasiswa Trisakti yang berakhir ricuh. Ada baku tembak dengan aparat kepolisian yang menelan korban jiwa.
Mendengar kata mahasiswa Trisakti dan korban meninggal, seketika membuat Liliana terkejut dan membuat tangannya goyah. Cangkir itu meluncur ke bawah, menimbulkan suara nyaring, mengalihkan perhatian Tedja dari layar televisi.
“Sayang, kamu kenapa?” Tedja setengah berlari menghampiri Liliana yang masih membeku. Dia buru-buru menarik sang istri menjauhi pecahan keramik. Ditariknya dagu Liliana agar menatapnya. “Ada apa?”
“Damar.” Liliana meraih lengan kemeja Tedja dan mencengkeramnya erat. “Anak itu kuliah di Trisakti. Baru kemarin dia bilang mau ikutan demo.” Sorot cemas itu mendominasi mata Liliana. Suaranya bergetar. “Gimana kalau terjadi sesuatu sama anak itu? Bagaimana kalau dia terluka?”
Tedja meraih punggung tangan Liliana, meremasnya lembut, berusaha mengalirkan ketenangan. “Jangan langsung berasumsi. Coba telpon Mama dulu.”
Liliana mengangguk. Dia melepaskan tangan Tedja, setengah berlari menuju meja telepon. Cepat-cepat dia meraih ganggang dan memencet nomor rumah sang mama yang sudah dia hafal diluar kepala. Namun, panggilan Liliana tak terjawab meski sudah mencoba beberapa kali. Bibir bawah Liliana nyaris berdarah karena dia gigiti terus-terusan.
Damar itu tipikal anak yang berani. Ah, enggak. Dia memang sudah nakal dan sering berkelahi sejak kecil. Beberapa kali nyaris dikeluarkan dari sekolah negeri, hingga akhirnya dipindah di sekolah swasta. Sejak Damar kuliah dua tahun lalu, Mama sering cerita soal Damar yang selalu pulang malam. Bahkan tak jarang menginap di kampus. Topik pembicaraan anak itu juga nggak jauh-jauh dari demonstrasi, reformasi, dan pelengseran presiden. Yah, bukannya sudah jelas kalau anak itu pasti ikut demo?
Benar-benar… enggak bisa dibilangin. Awas saja kalau ketemu. Liliana akan memarahi anak itu habis-habisan karena membuatnya khawatir!
“Nggak diangkat?” tanya Tedja, lembut. “Atau kita ke rumah sakit aja?”
“Rumah sakit mana?” Liliana mengurut keningnya yang terasa berdenyut. “Belum tentu Damar ada di sana. Atau kita ke rumah Mama aja? Perasaanku bener-bener nggak enak.” Liliana mengangkat kepala dan baru menyadari jika suaminya itu sudah siap dengan setelan kerjanya. “Ah, bener. Kamu harus kerja. Kalau begitu, aku berangkat sendiri aja.”
Tedja meraih tangan Liliana. “Nggak apa-apa, biar aku anterin.”
“Beneran nggak apa-apa?” tanya Liliana lagi, memastikan. “Kamu nggak akan dipecat karena bolos sehari kan?”
Tedja mencubit hidung sang istri karena gemas. “Ya enggak lah. Lagian aku emang jarang ambil cuti.”
“Yaudah kalau gitu aku siap-siap dulu.” Liliana bangkit. “Tunggu, lima belas menit.”
“Iya.” Tedja mengangguk. “Aku mau nelpon orang kantor dulu.”
Liliana tersenyum dalam langkahnya ke kamar. Dia merasa beruntung karena memiliki Tedja di hidupnya. Meski Tedja hanya karyawan kantoran biasa, bukannya pengusaha seperti kebanyakan keturunan Tionghoa, tetapi Liliana sama sekali tak menyesal karena memperjuangkan Tedja di depan Papa.
Liliana baru selesai memakai dress-nya saat suara besi yang dipukul berkali-kali terdengar. Telinganya mendadak ikut bedenging. Buru-buru Liliana menyambar tas dan keluar kamar. Tapi, hal yang Liliana temukan kemudian adalah Tedja yang sedang bicara di telepon dengan ekspresi terganggu. Sayup-sayup Liliana bisa mendengar suaranya,
“Tolong kirimkan bantuan ambulans ke rumah kami sekarang.”
“Ada apa?” tanya Liliana, saat jaraknya dan Tedja tersisa tiga langkah. “Kenapa tiba-tiba manggil ambulans?”
Tedja menyugar rambutnya, jelas terlihat frustrasi. “Sebentar lagi bakal terjadi kerusuhan.” Sorot mata yang tadinya tenang kini berubah cemas. “Kita harus kabur sekarang, Sayang. Kemasi barang-barang berharga kamu sekarang.”
Punggung Liliana terasa seperti sedang dihantam palu. Benar. Bukannya Liliana tak pernah mendengar kabar simpang siur soal kerusuhan saat dia belanja di pasar. Lahir sebagai kaum minoritas yang hak-haknya dicabut sejak zaman pemerintahan Soeharto membuat Liliana paham kaum mereka akan jadi sasaran saat kerusuhan serupa terjadi lagi.
Liliana pernah mendengar cerita dari Mama soal kejadian tahun 1965. Tentang bagaimana menderitanya etnis Tionghoa yang ikut terseret dalam pusaran arus propaganda PKI. Hanya karena China adalah negara komunis, orang-orang keturunan China yang tinggal di Indonesia pun terkena getahnya. Mereka selalu dipandang sebelah mata, seolah-olah pelakunya.
Beruntung waktu itu Mama dan Papa bisa selamat, meski harus kehilangan banyak barang berharga. Mereka sering bercerita soal pentingnya menyimpan dana darurat di luar negeri, dan menabung aset seperti emas dan surat berharga. Bahwa mungkin saja, kejadian yang sama akan terulang lagi.
Apakah… hari itu adalah… sekarang? Apa Liliana harus kabur dan menyelamatkan diri?
Tidak. Ini… tidak mungkin terjadi lagi, kan? Para etnis Tionghoa yang menetap di sini sudah benar-benar menjadi bagian dari Indonesia. Mereka bahkan tak belajar bahasa mandarin, meninggalkan kebudayaan leluhur mereka dan tidak melakukan upacara keagamaan di hari besar. Segala bentuk diskriminasi dari pemerintah dan warga pribumi, sudah mereka terima tanpa mengeluh.
Apakah… sebenarnya etnis Tionghoa tak pernah benar-benar menjadi bagian dari Indonesia? Bahwa ketenangan selama ini hanya sebuah kamuflase untuk bencana yang lebih mengerikan?
Jari-jari Liliana mendadak tremor.