“Katanya Vivian sama kamu.” David bertanya pada Tedja dengan napas terengah. Keringat bercucuran membasahi leher hingga kerah cheongsam-nya.
Tedja menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Iya, tadi Vivi di sini, tapi, udah kabur lagi.”
David menahan diri untuk tidak mengacak rambutnya yang sudah diberi pomade dan disisir rapi. “Astaga, Vivian. Kenapa dia malah kabur waktu dicariin sih?”
“Memangnya ada masalah apa?” Tedja masih nggak tahu apa-apa. Dia enggak bawa ponsel dan tadi hanya disuruh istrinya mengawasi Vivian. “Barusan Vivi wawancara kami soal kerusuhan Mei—”
“Jangan bilang kamu iyain!” David meraih ujung kerah cheongsam Tedja. Matanya melotot seperti akan copot.
“It.. itu… udah… terlanj—” Tedja enggak bisa melanjutkan kata-katanya.
David langsung lemas. Kaki-kakinya meleyot, hingga jatuh terduduk ke lantai. Rambut klimis itu berakhir acak-acakan juga. Habis sudah kepolosan Vivian. Karena anak itu sudah dapat dukungan terbuka dari Liliana dan Tedja, dia bakal makin menjadi-jadi. Bisa-bisa nanti David dan Lusi juga nggak bisa menghindari pertanyaan soal tragedi itu.
“Vivian! Mana Vivian?” Lusi muncul, setengah berlari. Dia menghampiri David dan menepuk-nepuk punggungnya. “Vivi mana, Pa?”
David hanya menggeleng pasrah. Sementara itu, Tedja mengalihkan pandangan merasa bersalah. Tedja benar-benar tak tahu kalau situasinya akan sekacau ini. Jika dia tahu, mungkin tadi dia bakal ikat tangan Vivi biar enggak bisa lari.
Tak lama, Liliana dan si kembar juga muncul. Mereka dapat panggilan dari whatsapp keluarga untuk berkumpul di dekat kolam renang. Pesan itu mengatakan bahwa Lusi dan David sedang dalam keadaan darurat akibat menghilangnya Vivian.
“Vivian masih belum ketemu?” tanya Liliana, setengah panik, yang kemudian mendapat gelengan pasrah dari semuanya. Liliana pikir anak itu akan aman bersama Tedja sementara Liliana pergi sebentar untuk mengambil napas. Siapa sangka kalau Vivian sudah menghilang?
“Aku harus gimana sama anak itu?” Lusi terlihat frustrasi. Dia hampir menangis. “Di hari pernikahan Nadine. Kenapa dia malah dapat tugas aneh dari gurunya? Padahal belum tentu Vivi paham apa yang dia omongin. Vivi belum tahu makna dibalik peristiwa itu.”
Liliana mendekat dan menepuk pundak Lusi menenangkan. Sorot matanya tampak berkobar. “Nanti kita sama-sama samperin Miss Jansen sialan itu dan kasih dia pelajaran.”
Lusi hanya menghela napas.
“Gimana kalau kita berpencar aja?” Alvian memberi solusi. Dia menatap seluruh anggota keluarganya satu per satu, seolah meminta persetujuan. “Siapapun yang ketemu sama Vivian dulu, langsung kasih kabar di grup keluarga.”
Semuanya menatap Alvian, kemudian mengangguk setuju. Mata mereka berkobar-kobar. Yang dibilang Alvian benar. Mereka harus segera menyatukan kekuatan agar bisa menemukan kelinci kecil yang pandai sekali bersembunyi itu.
***
Om Damar.
Vivian masih ingat namanya. Nama itu jarang disebut, tetapi Vivian tahu kalau orang bernama Damar adalah adik Mama. Nama itu jarang disebut di acara keluarga. Dan kalaupun enggak sengaja ada yang keceplosan---terutama di depan Ayi Nadine, suasananya langsung berubah nggak nyaman. Apa itu artinya Om Damar pernah berbuat jahat, makanya dia dibenci dan namanya enggak pernah disebut? Tapi kenapa sekarang Om Damar mendadak muncul? Apa masalah antar orang dewasa itu sudah selesai?
“Jadi, Om itu… Om Damar, ya?” Vivian berujar dengan senyum lebar dan penuh percaya diri. “Kalau begitu, kenalin. Namaku Vivian, anaknya Mama Lusi dan Papa David.”
Ada kilat terkejut di mata Damar. Hanya sekilas. “Kenapa kamu bisa yakin banget kalau aku Damar?”
Vivian memiringkan kepala. Padahal Vivian mau bilang soal cheongsam yang dikenakan omnya itu, tapi, yang keluar malah, “Soalnya… mata Om Damar mirip banget sama Mama?”
Damar terkekeh. Suaranya sopan terdengar. Penampilan Damar sekarang itu, kayak papa-papa muda influencer dengan tubuh tegap dan wajah menawan. Usianya mungkin lebih tua dari Ayi Nadine, tapi dia terlihat seperti umur tiga puluhan. Hanya ada sedikit cambang di dagunya, dengan kumis tipis. Perutnya juga nggak buncit kayak Om Tedja.