Jika diibaratkan sebuah denah, maka kini kelinci Vivian sedang berjalan menjauh dari taman hotel, sementara Damar masuk ke lobi dan akan berpapasan dengan David dan Lusi. Di bagian restoran, Liliana berputar-putar. Tedja dan si kembar sedang memutari ballroom dan menyingkap bawah meja prasmanan. Sarah sudah turun untuk menyambut tamu yang mulai berdatangan, juga calon besannya. Sementara itu, Nadine sudah selesai dimake-up dan sedang berganti dress.
“Papa mending jaga di depan kamar Nadine aja.” Lusi menghentikan langkah. Dia menatap suaminya dengan raut panik. “Acaranya sebentar lagi mulai. Jangan sampai Vivi bikin kacau.”
David mengangguk. “Oke.”
Tepat setelah David berbalik, Lusi menemukan Damar yang baru memasuki lobi. Mereka saling bertatapan. Lusi seketika mematung, beberapa saat. Waktu terasa seolah membeku.
Meski sudah belasan tahun tak bertemu, Lusi masih mengingat wajah adik lelaki satu-satunya itu. Bentuk wajahnya menjadi semakin tajam dan tegas, dengan cambang tipis di bagian dagu dan rahang. Dia juga semakin tinggi, berbadan tegap. Di depannya kini, enggak ada lagi anak cengengesan yang masih merengek minta uang saku. Enggak ada pula si nakal yang suka taruh piring sembarang di kasur, sofa dan teras. Atau si mahasiswa kurus kerontang yang suka bicara soal idealisme.
Mata Lusi tanpa sadar meremang. Melihat Damar tumbuh sebesar ini tanpa ada keluarga yang mendampinginya, membuat Lusi didera rasa bersalah. Kenangan-kenangan yang telah lama terkubur itu, menancapkan akarnya kembali, tumbuh menjadi bunga layu berbatang rapuh. Damar… sama sekali tak bersalah. Dia hanya korban dari situasi yang tidak memihaknya.
“Damar…” suara Lusi terdengar serak. “Kamu… apa kabar?”
Damar tersenyum tipis. Dia mendekat dan memberi pelukan pada kakak perempuan yang sangat dia rindukan itu. “Aku baik-baik aja, Ci. Aku makan dengan teratur dan tumbuh besar. Kabar Cici gimana?”
Enggak seharusnya Lusi menangis karena make-upnya bisa luntur. Namun, Lusi enggak bisa menahan diri. Dia menjatuhkan air matanya di dada sang adik. Lusi sungguh, merindukan adiknya. Rindu saat-saat di mana Papa masih hidup dan mereka hanyalah anak kecil yang sering bertengkar dan berbaikan. Dulu Papa sanga memanjakan Damar, sampai-sampai membuat iri dan cemburu. Tapi bahkan jika dieberi kesempatan untuk mengulang waktu, Lusi akan menghargai setiap momennya.
“Aku baik.” Lusi mengeratkan pelukan. Mencium aroma adiknya yang entah kenapa terasa familiar. “David juga masih baik seperti dulu, dan akhirnya kami punya anak setelah dua belas tahun menunggu. Namanya Vivian.”
“Tadi aku ketemu Vivi.” Damar berujar dengan nada tenang. “Dia kayak duplikatnya Cici. Cantik, energik, percaya diri dan nggak takut sama apapun.”
Lusi buru-buru melepaskan pelukan. Matanya melotot dengan maskara yang sudah luntur. Dia refleks mencengkeram bahu Damar. Kesedihan karena mengingat kenangan masa lalu langsung hilang karena memikirkan bahaya yang terlihat di depan mata. “Kamu lihat Vivi di mana? Kami lagi sibuk nyari Vivi buat nyegah dia mengacau.”
Damar yang tiba-tiba diperlakukan seperti itu terkaget-kaget. Dia menunjuk ke luar lobi. “Tadi dia di taman—”
Lusi nggak mendengar Damar sampai selesai dan langsung meninggalkan adiknya itu dengan langkah cepat dan lebar. Damar hanya bisa melihat kepergian Lusi dengan senyum tipis. Baru kali ini, Damar melihat jiwa emak-emak menguar dengan begitu kuat dari tubuh kakaknya. Padahal dia dulu yang paling kalem dan bersikap seolah-olah tak akan menikah.
Waktu… memang bisa mengubah seseorang.
“Oh iya! Nanti kita ngobrol lagi waktu Vivi udah ketemu!” Lusi tiba-tiba berbalik. Tahu bahwa dia melupakan sesuatu. “Nadine ada di lantai empat. Nomor ruangannya… 404.”
***
Gara-gara sibuk mencari Vivian, Liliana sampai lupa memberitahu Damar bahwa dia tak boleh bertemu dengan Nadine, setidaknya sebelum acara pemberkatan. Karena kedatangan Damar hari ini adalah rencana sepihak dari Mama dan Liliana. Tidak ada yang bisa menduga reaksi apa yang akan diberikan Nadine saat bertemu Damar nanti. Salah-salah, pernikahan Nadine bisa kacau.
Sejak tadi Liliana sudah mencoba menghubungi Damar pakai ponsel Alvian. Tapi, nomor adiknya itu enggak bisa dihubungi. Berkali-kali Liliana menahan diri buat nggak mengumpat, atau merusak tatanan rambutnya. Kenapa sih, hari ini kesannya jadi kacau banget? Baru datang sudah dikejutkan dengan pertanyaan Vivian, lalu dimarahi Lusi, dan sekarang soal Damar yang enggak bisa dihubungi. Sifat teledor Liliana memang enggak berubah sejak dulu.
“Om Damar udah bisa dihubungi?” tanya Alvian.
Liliana menggeleng pasrah. “Belum. Pokoknya dia nggak boleh ketemu Nadine dulu.” lalu ketika Alvaro muncul, Liliana terpikirkan sebuah ide cemerlang. Dia menepuk pundak putranya itu. “Varo, sekarang kamu ke atas. Ke kamarnya Nadine. Kalau ketemu Om Damar, suruh dia turun dulu buat ketemu Mama. Bilang kalau ada hal penting yang mau Mama omongin.”
Kening Alvaro berkerut. “Gimana aku bisa tahu kalau itu Om Damar?”
“Dia pakai cheongsam yang sama kayak Papa kamu.” Liliana mendorong punggung Alvaro. “Pokoknya waktu lihat, kamu pasti bakal langsung tahu.”
“Tunggu.” Alvaro menghentikan langkahnya. Dia berbalik dan menatap mamanya dengan sorot sendu. “Janji Iphone baru dulu?”
Liliana memasang sorot mata membunuh. “Masih berani bahas Iphone?”
Wajah Alvaro seketika berubah mendung. Lagi pula, dia memang nggak punya pilihan, kan? Alasan kelahiran Alvaro kan, memang buat jadi budaknya Mama. Yang bikin makin kesel, Alvaro nggak bisa bilang enggak.
***
“Vivian! Berhenti kamu!”
Itu… suara Mama. Padahal Vivian sengaja lewat jalan belakang, tapi rupanya Mama masih bisa mengejar. Vivian menyesal karena dia nggak langsung lari. Andai saja sekarang Vivian dikasih kesempatan untuk punya kekuatan super, pasti Vivian milih jadi spiderman. Jadi Vivian bisa panjat dinding hotel dengan gaya.
“Iya ini aku mau ke kamar Ayi Nadine! Aku nggak lupa sama tugasku, kok!” Vivian berlari, berusaha membuka pintu belakang hotel, tapi ternyata terkunci dari dalam. Saat menoleh ke belakang, Mama sudah semakin dekat. Vivian menatap ke sekitar, merasa terjebak.
Mama memasang seringai. Dia merentangkan tangan, bersiap menangkap Vivi. “Kamu nggak boleh wawancara Ayi Nadine. Kalau Vivi maksa, Mama bakal kasih kamu hukuman.”