Nadine Wedding Day

IndaahNs
Chapter #8

7. Pertemuan Yang Dipaksakan

Nadine… terlihat sangat cantik, dengan gaun pengantin putih yang berkilauan. Dia berputar ke sisi kiri dan kanan, melihat betapa gaun itu melekat dengan sempurna di tubuhnya. Senyum Nadine terkembang lebar.

Nadine... merasa potongan puzzle hidupnya sudah lengkap.

Nadine berhasil menggenapi mimpi masa muda yang dia yang selalu dia idam-idamkan. Mendapat gelar Phd, bekerja di perusahaan bergengsi, dan menikah dengan pria yang dia cintai. Bahkan dalam mimpi terliar Nadine pun, dia tak pernah membayangkan bahwa dia akan menikahi Haikal, tetangga Nadine yang dulu memberikan tempat perlindungan disaat semua semua keluarganya sibuk melarikan diri. Berkat mereka, Nadine masih bisa mendapatkan kewarasannya sampai saat-saat terakhir Papa.

Dulu, Nadine berencana hidup untuk dirinya sendiri. Namun, rupanya takdir memang pintar membolak-balikan hati. Kehadiran Haikal adalah tetesan air di hidup Nadine yang gersang. Bahkan setelah kesuksesan dalam pekerjaan dan gelar, Haikal adalah pelengkap semua itu. Apalagi, menikahi Haikal juga sepaket dengan memiliki Nando. Anak itu sangat manis, polos dan menyayangi Nadine dengan tulus. Hanya tinggal masalah waktu sampai anak itu memanggilnya Mama.

“Putri Mama cantik sekali.” Sarah berdiri di samping Nadine, menatap putrinya itu di pantulan cermin. “Kamu cocok pakai dress ini. Haikal pasti langsung terpana lihat kamu.”

Nadine tersenyum. “Aku cantik kan karena mirip sama Mama.” Kali ini Nadine menoleh. “Setelah menikah, aku bakal tinggal di rumah Mama sama Haikal dan Nando. Supaya Mama nggak kesepian lagi.” Nadine meraih tangan keriput sang mama dan meremasnya lembut. “Maaf karena selama ini aku ninggalin Mama sendirian. Mama pasti kesepian, kan?”

Sarah pura-pura merajuk. “Kalau kamu nggak ketemu Haikal, kamu pasti nggak akan punya pikiran buat pulang ke Indonesia, kan?”

Nadine buru-buru menggeleng. “Enggak lah. Aku tetap pulang buat jagain Mama. Aku bahkan udah punya rencana buat habisin masa tuaku sama Mama.”

Sarah terkekeh. Dia balas menggenggam tangan Nadine dan meremasnya hangat. “Mama selalu dukung semua keputusan kamu, Sayang. Kamu tahu itu, kan? Bahkan kalau semisal kamu ingin tinggal di rumah Haikal, Mama sama sekali nggak keberatan. Mama bisa urus diri Mama sendiri. Mama nggak mau kamu terbebani. Sekarang giliran kamu untuk bahagia.”

“Mama jangan ngomong begitu.” Nadine menggeleng. “Selama ini, aku terlalu sibuk ngejar cita-citaku tanpa meduliin perasaan Mama. Nadine juga udah sering ngerepotin Mama.” Nadine menatap sang mama lekat-lekat, berusaha mengalirkan semua perasaan tulusnya. “Sekarang, izinin Nadine buat nebus waktu yang selama ini terbuang karena jauh dari Mama.”

Rasanya… Nadine ingin menangis. Waktu berlalu sangat cepat sampai-sampai Nadine tidak tahu sejak kapan mamanya sudah setua ini. Kulit Mama mulai keriput dan matanya berubah sayu. Dulu setelah sembuh, Nadine hanya bisa menyalahkan semua orang atas derita yang menimpanya. Setelah itu, Nadine sibuk belajar untuk mengalihkan traumanya. Karena saat itu, kuliah adalah satu-satunya cara Nadine untuk bertahan hidup. Sesuatu yang bisa mengalihkan perhatiannya, menjaga kewarasannya. Hingga tanpa sadar, Nadine sudah melewatkan banyak hal, terutama kebahagiaan diri sendiri dan orang-orang terdekatnya. Juga Mama yang sama telukanya. Nadine terlalu sibuk menguatkan dirinya sendiri sampai lupa untuk menguatkan Mama. Padahal mereka bisa saling berbagi beban bersama-sama.

“Kamu boleh lakuin apapun yang kamu mau, Sayang.” Sarah tersenyum dan mengusap bahu Nadine lembut. “Sekarang kita turun, ya. Haikal udah nunggu kamu.”

Nadine mengedipkan mata berkali-kali, berusaha untuk tidak menangis. Dia mengulas senyum lebar dan melangkah bersama sang mama keluar pintu.

***

Nadine belum pernah seterkejut ini melihat seseorang dalam hidupnya.

Saat membuka pintu kamar, sosok yang Nadine temukan sedang berdiri gelisah itu memang berbeda, tetapi Nadine masih bisa mengenalinya dengan sangat jelas. Dia adalah… Damar. Sejak kapan pria itu ada di sini? Dan kenapa tak ada seorang pun yang memberitahu Nadine soal kedatangannya?

Penyebab malapetaka itu kini ada di depannya, muncul kembali setelah dua puluh tahun berlalu, seperti bangkit lagi dari kubur. Bukankah dia… sangat tidak tahu malu? Kenapa dia berani muncul kembali setelah menghancurkan hidup Nadine? Apalagi pada hari di mana Nadine harusnya menjadi pengantin yang paling bahagia?

Waktu dua puluh lima tahun, tentu bukan waktu yang singkat untuk mengatasi trauma. Nadine bahkan harus menghabiskan tiga tahunnya di rumah sakit jiwa dan memendam trauma, bahkan sampai hari ini. Dan penyebab semua hal mengerikan itu… adalah Damar.

Lihat selengkapnya