Nadine Wedding Day

IndaahNs
Chapter #9

8. Damar

“Ayi Nadine cantik banget! Kayak princess dari buku dongeng!”

Vivian menyambut Nadine di pintu masuk ballroom. Anak itu tersenyum lebar sekali sampai-sampai Nadine khawatir ujung bibirnya akan sobek. Tiara di kepalanya membuat Vivian terlihat manis. Dia membawa sekeranjang kelopak mawar merah dan putih. Padahal tadi grup keluarga sempat heboh dengan kabar hilangnya Vivian. Tapi anak ini tiba-tiba muncul dan melakukan tugasnya dengan baik.

“Vivi, jangan bikin orangtua khawatir. Kamu harus izin ke Mama dulu kalau mau pergi.” Nadine berujar dengan nada memperingati. Dia mencubit hidung Vivian gemas. ”Emangnya kamu habis dari mana sih?”

Tetap saja. Meski sering membuat onar, Vivian tetap anak kesayangan keluarga Koeswandi. Jadi meskipun dia sudah bikin khawatir, kemunculannya sendiri adalah obat paling mujarab. Enggak akan ada yang bisa marah saat melihat wajah polos Vivi. Anak ini memang beda dengan anak-anak seusianya yang sudah stylish dan mulai menyentuh make-up. Bahkan kalau bisa, Nadine tidak ingin Vivi cepat dewasa.

Vivian memiringkan kepala. “Padahal dari tadi aku di ballroom, lagi makan sama chef Rudy.” Anak itu mengedip polos. “Mama aja yang terlalu overprotektif, dikiranya aku lagi diculik. Emangya sipa yang tega nyulik aku, iya kan?”

Nadine terkekeh kecil. Entah kenapa dia ikut tersihir dengan wajah Vivian yang terlihat sangat manis dan menenangkan. Hanya dengan melihat tingkah dan senyum polos Vivian saja, sudah membuat beban Nadine sedikit terangkat. Memang enggak berlebihan kalau menyebut Nadine adalah matahari pagi yang menghangatkan keluarga Koeswandi. Anak ini memang istimewa.

“Kalau begitu, ayo kita pergi.” Nadine tersenyum lebar, mengulurkan tangan, yang disambut Vivian dengan senang hati. “Semua orang pasti udah nunggu.”

“Okeeeyy!”

Benar, hari ini adalah hari bahagia Nadine. Haikal pasti sudah menunggu dengan gugup, jadi, Nadine harus memasang senyuman terbaiknya. Enggak akan Nadine biarkan lagi, keluarganya mengambil kebahagian Nadine seperti waktu itu.

***

Damar hanya bisa melihat Nadine dari kejauhan.

Adiknya itu terlihat sangat cantik dalam balutan gaun pengantin putih panjang yang ekor gaunnya menyentuh karpet merah. Rambutnya digelung sempurna, dengan tiara dan veil yang dipasang dengan menawan. Sepasang mata yang menyorot hangat dan senyum lebar yang terlukis sempurna itu, bukan fatamorgana. Sepanjang hidup, baru kali ini, Damar melihat Nadine paling bahagia. Haikal pasti sosok yang istimewa untuk Nadine. Sekali lihat saja Damar sudah tahu, bahwa dia bisa memberikan tanggung jawab menjaga Nadine pada Haikal.

Saat datang ke sini, Damar memang tak berharap bisa menggandeng tangan Nadine sampai ke altar, dan menyerahkannya pada Haikal. Namun, tetap saja. Diam-diam, di sudut hati Damar yang paling dalam, dia ingin mengantar Nadine menemui kehidupan barunya. Ya, Damar tak boleh serakah. Bisa melihat Nadine menikah dari kejauhan, seharusnya Damar bersyukur. Karena gara-gara dirinya, Nadine harus menghadapi masa-masa paling menyiksa dalam hidupnya. Kini saat Nadine sudah hidup bahagia dengan pilihannya, Damar hanya perlu mundur dan mengamati dari jauh.

Saat janji suci itu selesai diucapkan, hati Damar dipenuhi kelegaan. Dia merasa seolah-olah beban di pundaknya terkikis habis.

Lepas dari trauma masa lalu pasti sangat sulit untuk Nadine, tapi, dia berhasil melakukannya dengan sangat baik, dan membuat Damar bangga. Bahkan jika harus mati sekarang pun, Damar sudah siap. Dia akan pergi dengan senyuman terbaiknya.

“Padahal Nadine harusnya nggak perlu bersikap keras kepala kayak gitu.” Liliana berdiri di samping Damar. Dia ikut melihat Nadine yang tertawa bahagia setelah Haikal mencium keningnya. “Kamu itu kan koko-nya Nadine satu-satunya. Harusnya dia bisa ke altar sama kamu.”

“Aku nggak berharap bisa nemenin Nadine kok. Wajar kalau Nadine masih benci sama aku.” Damar tersenyum lirih. Wajah Nadine mendadak terlihat samar. “Perbuatanku di masa lalu itu bener-bener nggak termaafkan.”

Benar. Bahkan sampai sekarang pun, Damar masih dihantui tragedi di hari itu. Damar menyesal karena dia tak bisa menyelamatkan Nadine dan Papa. Padahal Damar adalah kakak Nadine, juga anak laki-laki satu-satunya Papa. Damar merasa gagal menyelamatkan keluarganya sendiri. Meski begitu, Damar sama sekali tidak menyesali keputusannya untuk menyerukan reformasi. Karena jika bukan dia dan teman-teman mahasiswa yang memulai, mungkin hingga saat ini… tidak ada Indonesia seperti yang sekarang. Mungkin saja, kebebasan demokrasi hanya angan-angan semu yang tidak pernah terwujud. Dan mungkin saja, keturunan Tionghoa yang tinggal di Indonesia, akan mengalami diskriminasi yang lebih parah.

Lihat selengkapnya