“Tante ini… beneran nggak punya malu, ya?” Dengan tenang, Vivian meniup beberapa helai rambut yang tercabut di telapak tangannya. “Kok bisa sih, Tante main adu jambak sama anak kecil? Kan, jadi jelas siapa pemenangnya.”
Jelas Vivian dong. Soalnya nggak cuma rambut Tante itu saja yang rontok, tapi lengan gaunnya juga sobek. Tatapan mata itu seperti bara api yang siap membakar Vivian.
“Kamu!” dia menunjuk Vivian. “Di mana orangtua kamu? Mereka harus tanggung jawab karena nggak becus didik kamu.”
Vivian memiringkan kepala. “Emangnya Tante yakin papaku bakal belain Tante? Emangnya Tante nggak malu karena ketahuan berantem sama anak kecil?” Vivian menyeringai. Dia kemudian merapikan rambut dan tiara-nya yang miring dengan tenang. “Lagian, Papa sama Mama lagi sibuk. Kita lupain aja apa yang terjadi hari ini.”
Si Tante itu bersiap untuk menjambak Vivian lagi, tapi ditahan temannya. Vivian menyeringai dan mengedipkan mata.
“Karena aku ini orang sibuk, jadi aku pamit pergi dulu ya, Tante.” Vivian tersenyum manis dan melambaikan tangan. Kemudian tanpa rasa bersalah, Vivian berjalan ke arah pelaminan untuk melihat Mama yang tampak syok dan sedang dibantu Papa untuk turun.
Melihat sekeliling, Vivian baru sadar kalau situasinya sudah benar-benar kacau.
Kok bisa, sih, pesta pernikahan yang ditunggu-tunggu anggota keluarga Koeswandi, jadi kacau begini? Kira-kira siapa biang keroknya?
“Astaga, Vivian emang terbaik.” Alvaro tiba-tiba muncul dan bertepuk tangan, diikuti Alvian yang geleng-geleng kepala. “Hampir aja aku tadi ikut lompat buat tendang si Tante.”
“Kamu pasti capek habis berantem.” Alvian merangkul pundak Vivian yang lebih pendek darinya. “Ayo kita makan!”
Vivian… nggak punya pilihan selain menurut. Toh, semua orang juga lagi sibuk.
***
“Kenapa Cici lakuin itu?” Damar bertanya dengan nada frustrasi. “Pesta pernikahan Nadine jadi berantakan. Nadine pasti bakal malu banget ketemu sama orang setelah ini. Dan mungkin, Nadine nggak akan mau ketemu aku lagi seumur hidup.”
Liliana yang sedang duduk di dekat meja prasmanan, meneguk air putihnya sampai habis. Liliana jelas merasa terganggu. Dan juga… merasa bersalah. Enggak seharusnya kata-kata itu keluar dari mulut Liliana. Dia sudah sangat berdosa karena menyakiti Nadine di hari pernikahannya. Apalagi, Liliana sampai lupa kalau hari ini tanggal 13 Mei…
“Padahal Cici nggak perlu berbuat sejauh itu,” lanjut Damar lagi, dengan nada putus asa. “Aku nggak apa-apa kalau harus menghilang, selama itu bisa bikin Nadine bahagia.”
“Oh, jadi kamu lebih suka pura-pura mati.” Liliana mencengkeram gelas kuat-kuat. Masih ada amarah yang menyala di matanya. “Nadine juga harus disadarin kalau dia juga ikut bertanggung jawab atas kematian Papa, nggak cuma nyalahin kamu atau Cici.”
Damar menunduk. “Tapi, emang bener itu semua salahku. Kalau aja hari itu aku nggak ngotot ikut demo, pasti Papa bisa jagain Nadine di rumah. Kita mungkin bisa kabur sama-sama.”
Duka mendalam akibat kepergian Papa sudah mengakar di hati mereka. Menancap begitu dalamnya hingga tetap tumbuh meski sudah dicabut ribuan kali. Sama halnya Damar yang merasa bersalah karena ikut demo, Liliana juga sebenarnya memendam rasa bersalah. Jika saja hari itu Liliana membelokkan ambulansnya untuk menjemput Nadine, mungkin situasinya akan jauh berbeda. Benar, kan? Perandaian seperti ini selalu muncul tiap Liliana merasa gelisah.
“Kalian nggak salah.” Mama muncul dibantu Tedja. “Nggak ada yang perlu disalahkan dari anak-anak Mama.” Melihat pertengkaran di atas panggung itu, jelas Sarah yang paling terluka di antara semuanya. Dia juga yang paling banyak kehilangan. Karena tak hanya kehilangan suami, Sarah juga kehilangan anak-anaknya, juga keharmonisan keluarganya. “Papa kamu, datang menjemput Nadine atas keputusannya sendiri. Dia sudah tahu resikonya.”
Semua orang yang ada di sana langsung terdiam.
Sarah mendekati Damar dan meraih tangan besar putra satu-satunya yang kapalan. “Sudah tugas orangtua untuk melindungi anak-anaknya, jadi, jangan menyalahkan diri sendiri atas bencana yang sudah ditakdirkan.”
Melihat suaminya mati, putri bungsu yang menjadi gila, anak laki-laki yang mengambil tanggung jawab ayahnya dengan berusaha sangat keras hingga membuatnya meninggalkan rumah, dan kebersamaan keluarga yang berubah dingin, tentu Sarah adalah orang yang mentalnya paling tertekan. Meski begitu, Sarah tetap mempertahankan kewarasannya, karena dia masih punya tanggung jawab untuk melihat anak-anaknya tumbuh menjadi manusia hebat.
Liliana tertunduk dalam. Dia memainkan jari-jari tangannya, tiba-tiba merasa tertohok.
Liliana… hanya merasa frustrasi, kesal, dan marah.
Dia hanya ingin keluarga ini menjadi damai seperti dulu, seperti saat Papa masih hidup. Liliana ingin Damar juga berdamai dengan dirinya sendiri, berdamai dengan keluarganya. Sebagai anak sulung, Liliana juga merasa bertanggung jawab atas retaknya keluarga. Namun, pada akhirnya Liliana menyadari kalau caranya salah. Enggak seharusnya dia menghancurkan pernikahan yang dinantikan Nadine puluhan tahun lamanya.
“Maaf.” Liliana menutupi wajahnya dengan kedua tangan. “Aku tadi cuma kebawa suasana.”
Sarah mengusap punggung putri sulungnya lembut, berusaha menyampaikan dukungan. “Nggak apa-apa, Sayang. Belum terlambat buat minta maaf sama adikmu.”
***
Nadine duduk di kursi sofa yang ada di kamar, sambil bersandar di dada Haikal yang lebar. Seharusnya sekarang Nadine ganti baju untuk acara resepsi, tetapi Nadine bahkan tidak tahu apakah pesta ini akan bisa berlanjut? Nadine terlalu malu untuk bertemu dengan para tamu. Terlebih, kondisi mental Nadine sedang tidak baik-baik saja. Meski sisik di tangan Nadine sudah hilang, tapi rasa sakit itu masih bercokol di dadanya.
Selama ini… kata-kata mengerikan itu tak pernah keluar dari mulut Liliana. Nadine tak pernah mendengar bahwa dirinya disalahkan atas kematian Papa. Ah, tidak. Baik Liliana, Lusi, dan Damar, mereka semua hanya diam saat Nadine menuduh mereka yang bertanggung jawab atas kematian Papa. Mental Nadine waktu itu terlalu lemah, dan dia berakhir dengan kekalahan, membiarkan kegilaan menguasai pikirannya.
“Kamu pasti baik-baik aja. Semua akan baik-baik aja.” Haikal mengecup puncak kepala Nadine berkali-kali. Seolah merapalkan mantra. “Kalau kamu pengin istirahat dulu, enggak apa-apa. Kita bisa tunda resepsinya selama yang kamu mau.”