Nadine dan Damar duduk bersisian di bangku taman. Keduanya menatap jauh ke depan, seolah-olah pikiran mereka tak ada di sini.
Nadine meremas jari-jarinya, menunduk dalam. Hingga suaranya terdengar kemudian, lirih sekali. “Maaf.”
“Maaf buat apa? Kamu nggak salah.” Damar menjawab tanpa menatap Nadine. “Justru aku yang harusnya minta maaf.”
Jelas sekali.
Damar masih ingat dengan sangat jelas kejadian sore itu.
Mama yang sedang gelisah mondar mandir di tepi ranjang, sementara Damar hanya mampu berbaring dengan selang infus. Keheningan yang terasa sangat lama itu, kemudian terpecahkan akibat sebuah teriakan yang terdengar tidak asing.
“Na… dine?” bola mata Mama membulat. Dia buru-buru berlari ke asal suara.
Teriakan itu terdengar lagi. Kali ini terasa lebih dekat dari yang tadi. Jelas Damar mengenali suara teriakan adiknya. Karena itu, buru-buru Damar melepas selang infusnya, bangkit dari ranjang dan mengikuti Mama dari belakang. Setelah melewati pintu ruang inap, kekacauan itu barulah telihat jelas. Nadine berteriak histeris sambil dipegangi beberapa suster. Sementara di atas brankar, terbaring Papa yang wajahnya sudah memucat. Mama ikut histeris di samping Papa. Sementara itu, Damar terduduk di lantai, dengan tatapan kosong.
Kedua tangan Damar terkepal erat. Dia menangis, tanpa suara.
Melihat Papa datang tanpa nyawa, juga Nadine yang tampak kacau, membuat Damar tersadar bahwa keadaan di luar sana benar-benar kacau. Kenapa mereka harus berbuat sekejam itu pada Papa?
Waktu itu, Damar benar-benar tidak tahu, apa yang salah. Dia hanya berusaha untuk mewujudkan reformasi bersama teman-temannya, tapi, kenapa? Kenapa tiba-tiba keluarga Damar menjadi korban? Apa salah mereka hingga diperlakukan sekeji ini?
Rasanya… hancur sekali. Tidak ada yang bisa Damar salahkan selain dirinya sendiri.
Damar terus berandai-andai. Jika saja kemarin dia memilih di rumah, apa kejadian ini tak akan menimpa keluarganya? Damar akan mengerahkan segalanya untuk melindungi Nadine, sehingga adik perempuan Damar satu-satunya itu, tak perlu kehilangan kewarasannya. Namun, Damar sadar kalau dirinya tak bisa memutar waktu. Karenanyia, Damar berusaha memperbaiki kesalahannya dengan bertanggung jawab penuh atas Nadine. Dia rela tak menyelesaikan kuliah, untuk menstabilkan ekonomi keluarga. Damar juga rela menghilang, jika hal itu bisa membuat Nadine sembuh.
“Koko.”
Damar mengerjabkan mata.
“Ko Damar.”
Kali ini Damar tersadar sepenuhnya dari lamunan, menoleh, dan mendapati Nadine tengah mengulas senyum tipis. Terakhir Nadine memanggil Damar koko adalah saat Nadine masih berusia sepuluh tahun. Berkali-kali Nadine dimarahi Papa dan diperingatkan Mama, tetapi Nadine sama sekali nggak mau panggil koko. Tapi, sekarang, Nadine… memanggilnya koko? Yang barusan itu bukan khayalan Damar semata, kan?