Ayah punya bisnis toko keperluan olahraga, FootureKick yang cabangnya sudah menyebar ke berbagai negara. FootureKick tidak hanya menjual, tetapi juga memproduksi alat dan pakaian olahraga sendiri. Walau punya bisnis dengan omzet besar, Ayah tetap menjadi pelatih timnas—ada pamanku yang membantu menjalankan perusahaan. Mungkin itu yang dinamakan passion.
Turun dari Porsche 718 Cayman setelah Pak Parno membukakan pintu, aku masuk ke rumahku. Rumah mewah yang kutinggali ini sangatlah besar, orang yang baru pertama masuk mungkin akan tersesat karena bingung. Empat lantai dengan banyak ruangan, lorong-lorong panjang, dan jalan rahasia. Aku bahkan bisa kabur dari kamarku tanpa ketahuan lewat lorong yang menembus ke pagar belakang.
Teman-temanku beranggapan bahwa aku adalah anak yang sangat beruntung. Lahir di keluarga kaya raya dan hidup mewah tanpa kekurangan apa pun. Mereka pikir, aku bisa mendapatkan apa yang kumau dengan uang. Nyatanya tidak, rumah besar di depanku ini tidak ubahnya seperti sangkar yang mengekang kebebasan.
“Bang, lo kenapa dah?” tanya Gema yang mendapatiku di ruang tengah. “Mukanya dilipet kek gitu.”
Gema adik laki-lakiku. Walau begitu, dia jauh lebih tinggi. Dia adalah pemain basket andal. Berbeda denganku yang tidak ada minat pada olahraga—mau karena terpaksa. Gema justru sangat menyukai basket, dia cukup berprestasi di SMP-nya.
“Abang kita, kan, emang gitu kalau habis latihan,” sahut Gemi. “Kayak nggak tahu aja.”
Gemi, adik perempuan saudara kembar—tidak identik—Gema. Jika Gema suka basket, Gemi suka olahraga panahan. Dia ingin meneruskan prestasi Ibu, atlet legendaris panahan Indonesia yang pernah meraih medali emas di Asian Games. Sementara Ayah, sang mantan kapten timnas yang kini menjadi pelatih. Keluarga ini sangat sempurna sebagai keluarga atlet. Dengan satu syarat, yaitu aku dihilangkan.
“Bilang aja ke Ayah, Bang, kalau nggak suka. Nggak capek apa kesiksa sama hal yang nggak lo suka?” usul Gema yang tampak kesal.
“Tapi, kalau Bang Naga bilang, besoknya dia bukan abang kita lagi, Ma,” sahut Gemi. “Bang Naga yang harusnya sadar diri dan berlatih dengan serius. Ayah, kan, pengin Bang Naga masuk timnas.” Kalau semua orang beranggapan segala mimpi bisa tercapai, khusus yang Gemi bilang adalah kemustahilan. Menjadi anggota timnas? Lucu sekali.
“Kok lo malah nyuruh Bang Naga kayak gitu? Dia kan nggak suka. Harusnya Bang Naga ngelakuin apa yang jadi hobi dia,” bantah Gema. “Kalau Ayah marah, kita nanti harus bantu Bang Naga. Lawan Ayah!”
“Kamu nggak sadar kalau Bang Naga anak kesayangan Ayah? Rekening Bang Naga udah bengkak sama duit. Komputer mahal, motor keren, mobil mewah, bahkan Ayah mau beli rumah buat Bang Naga. Ayah udah kasih apa pun ke Bang Naga. Itulah kenapa dia harus nurut Ayah!” jelas Gemi dengan menggebu-gebu.
Gema diam sejenak. Dia tahu fakta itu, Ayah sangat berlebihan memberikan harta kepadaku. Sampai sekarang, aku tidak mengerti alasan sesungguhnya. “Jadi, lo pikir Bang Naga harus nyiksa dirinya sendiri karena Ayah udah kasih harta melimpah yang nggak bakal dibawa mati itu?”
“Kalian bisa, nggak sih, sehari nggak debat? Gue lagi pusing, jangan bikin nambah!” Aku kesal. “Bikin video TikTok aja kalian kayak biasanya!”
Senyap selama beberapa detik.
“Ya udah, ayo bikin, Ma!” Gemi menarik tangan Gema.
Gema menggeleng. “Bang, selamatin gue!”
***
Aku sedang rebahan sembari stalking Kak Gadis. Dia masih belum menghapus foto-foto Bang Agum di Instagram. Kenapa? Bukannya sudah menjadi budaya kaum milenial untuk menghapus semua foto bersama mantan? Atau, itu tidak berlaku bagi Kak Gadis? Ya, mungkin dia adalah orang yang menghargai setiap momen. Kalau begitu, aku bucin ke cewek yang tepat.
@nagaputramahendra: Selamat Malam, Kak Gadis. Aku Naga.
@nagaputramahendra: Eh, gue maksudnya. Gue, adik kelas lo, Kak. Hehe.
@nagaputramahendra: Aku suka Kakak.
@nagaputramahendra: Maksudnya gue. Gue ngefans Kakak.
Sudah berhari-hari, DM-ku belum dibalas. Aku memang bukan tipenya. Dia suka cowok yang karismatik. Aku tidak. Apa aku cari cewek lain yang bisa menerima cowok modal tampang dan duit kayak aku, ya? No. Aku tidak akan bisa jatuh cinta dengan mereka. Kak Gadis hanya satu-satunya yang ada di pikiranku. Aku harus punya karisma! Bagaimana caranya?
“Bang! Turun, ayo makan malam!” teriak Gemi.
“Siap!” jawabku.
Aku menaruh ponsel dan segera keluar kamar. Di meja makan, aku menelan ludah karena melihat Ayah. Aku menyalaminya, menempelkan dahiku pada punggung tangannya. Ayahku, Mahendra Adi Perkasa, adalah sosok pria karismatik. Bagaimana tidak, begitu melihat wajahnya yang tegas, postur tegap, dia seperti orang yang sangat pantas dihormati.
“Ini nasinya, Sayang,” kata Ibu. Maharani Dewi Kumala, sosok yang begitu cantik. Walau dia memakai pakaian kasual sehari-hari, tetap saja tampak anggun.
Aku menerima piring berisi nasi dari Ibu.
“Bagaimana lombamu, Gema?” tanya Ayah ke Gema yang sedang mengambil lauk.
“Kami masih terus berlatih, Yah. Targetnya masuk semifinal,” jawab adikku tanpa menoleh ke Ayah.
“Kalau ngomong, lihat lawan bicaramu,” sindir Ayah.
Gema baru menoleh. “Iya, Yah.”
Setiap makan malam memang seperti ini. Ada perasaan tegang yang selalu kami rasakan. Ayah seperti interogator yang siap melucuti apa pun yang ingin dia tahu dari anak-anaknya.
“Bantu abangmu ambilin lauk, Mi,” kata Ibu ke Gemi.
Gemi mengangguk dan mengambilkanku ayam goreng.
“Kamu pacaran, ya?” Ayah masih menanyai Gema.
Dengan ceroboh, Gema salah kirim chat kemarin. Dia harusnya mengirim itu ke pacarnya, tetapi malah dikirim ke Ayah. Parahnya, Ayah sudah membaca sebelum Gema menghapusnya.
“Iya, Yah,” jawab Gema yang tidak bisa menampik.
“Putuskan.”
“Biarkan saja, Mas,” kata Ibu lirih.
“A-aku tidak mau putus,” Gema mencoba melawan.
“Dia harus fokus pada lombanya. Kalian berdua tidak ada yang boleh pacaran,” tegas Ayah yang melirik Gema dan Gemi. Apa itu artinya … aku boleh? Aku ingin bertanya, tetapi kutahan, tidak mau menambah masalah kalau ikut bicara.
“Mas,” Ibu ingin meluluhkan Ayah.
“Ayah sudah bilang tidak, ya tidak.”
Gema menaruh sendoknya ke piring, kemudian dia berdiri dan pergi. Adikku yang tampan itu sepertinya sangat kesal. Aku harus menghiburnya setelah ini.
“Kok ada kucing!” seru Gemi tiba-tiba.
Aku disuruh mengejar kucing itu, dia naik tangga dan masuk ke kamarku. Namun, saat kucari, kucing itu sudah hilang. Melihat jendela yang terbuka, aku pun menutupnya. Mungkin kucing oranye itu sudah keluar lewat jendela.
Saat aku ingin kembali ke meja makan, aku berhenti di depan kamar Gema yang berada satu lantai dengan kamarku. “Gema, Abang boleh masuk?”
Tidak ada jawaban. Aku pun memutar gagang pintu dan mendorongnya. Kamar Gema cukup rapi, dia punya tiga rak besar berisi buku. Dia memang suka membaca, itu kenapa dia pintar dan abangnya bodoh. Yang kubaca hanya status orang dan saldo rekening yang tidak habis-habis.
Sekarang, adikku itu sedang duduk di ranjang memegang kamera. Aku mendekat, mendapatinya sedang menggeser-geser foto. Ada gadis manis di dalam foto itu. Namun, kenapa layarnya retak?
“Bang, nggak salah kan gue lawan Ayah?” tanyanya yang belum bisa kujawab.
Masih mengkhawatirkan kamera di tangan Gema, aku pun berinisiatif. “Pinjem hape, Ma.”
Walau ragu, dia mengambil ponselnya dan memberikannya kepadaku. Aku segera menunaikan niatku.