Naif, Bahagia Atau Luka

Aylani Firdaus
Chapter #2

MENTARI YANG MENYINARI AWAN SETELAH HUJAN

Aku terjaga lagi, kebiasaan yang sering terjadi. Kulirik jam weker bundar berwarna tosca yang bertengger di atas meja belajar itu. Dan tebaklah, sudah pukul 02.00 dini hari. Aku mencoba menutup kelopak mata kembali, berupaya keras agar bisa tertidur tapi hasilnya nihil.

Dalam kegelapan hanya bisa mengamati langit – langit kamar sambil mendengar tetesan hujan dari luar yang begitu pelan, terasa menenangkan. Hujan dari sore tadi belum juga reda. Ngomong - ngomong, sekarang sedang musim hujan.

Entah mengapa hanya mendengar tetesan hujan membuatku merasa kerinduan bercampur bahagia dan juga.. kesepian. Seakan setetes mewakili satu perasaan yang tak terjabarkan. Entah kepada siapa karena rasanya tak ada orang yang bisa kurindukan. Kau tahu? Saat temanmu begitu bahagia bercerita tentang pacar mereka. Semuanya bahkan terasa menyenangkan saat mendengarnya. Ini bukan inti dari permasalahan. Aku inginkan pacar? Tidak. Bukan seperti itu.

Ahh.. mungkin ini bakal jadi malam yang panjang. 

Aku memilih bangun dari ranjang kecil yang lebih sering menimbulkan suara derit sambil meraba – raba, menggapai steker yang menempel di tembok, untuk menyalakan lampu kamar. Kepalaku sekarang bahkan terasa pening.

Merasa tidak ada yang bisa dilakukan setelah mengelilingi kamar selama setengah jam, aku mendadak jadi seseorang layaknya terkena serangan khawatir padahal kenyataannya hanya ingin bisa tidur, kuputuskan kembali berbaring saja alih – alih berkeliling kamar. Kembali menarik selimut, menyelundupkan seluruh tubuh, menyembunyikannya disana sampai fajar menyingsing. 

'K-kring!!!' 

Jam weker itu berbunyi keras tepat di telingaku, disaat masih membutuhkan tidur. Kugapai sumber suara itu dari balik selimut berbulu yang lembut seakan selimut ini tak rela untuk ditanggalkan sementara tanganku masih berusaha menghentikan suara yang begitu memekikkan telinga. Dengan malas aku beranjak dari ranjang, mengucek kedua mata agar lebih tersadar. Jam itu menunjukkan pukul 05.30 pagi. Hari yang cerah, hari yang baik dan hari yang indah. Itu harapan yang kedengarannya sepele untuk pagi ini. 

Aku menatap refleksi diri pada cermin setinggi tubuh yang berada di kamar. Rambut hitam bergelombang yang lebih panjang 15 sentimeter dari bahu dan memang terlihat indah meski saat ini sangat berantakan. Kornea mata yang berwarna coklat khas orang Asia serta tinggi badan sebatas 160 sentimeter. Meski perawakanku bisa dibilang kecil tapi ototku cukup berisi karena sering latihan boxing.

Ayah sudah berangkat ke kantornya. Ia seorang karyawan di sebuah perusahaan multi finance dan termasuk pribadi yang disiplin terhadap waktu. Setelah mandi dan sarapan yang bisa dibilang singkat, aku segera berangkat menuju sekolah. Berpamitan pada Ibu yang tak henti - hentinya tertawa kecil sambil menggeleng - gelengkan kepala melihat tingkah konyol anaknya di pagi hari.

Angkutan umum sebagai alat transportasi menuju sekolah. Itu membantu mengurangi polusi udara. Iya, kan? Meskipun kenyataannya kendaraan selalu meningkat selaju dengan pertumbuhan penduduk. Setidaknya itu membantu meskipun hanya 1% atau malah kurang dari itu. Sesekali aku berlari menuju halte, berharap tidak tertinggal bus.

Kebisingan jalanan memang sulit dihindari dan sialnya hari ini tak luput dari hal familiar tersebut. Bus yang kunaiki memang tak sarat akan penumpang, tapi setelah berhenti di halte berikutnya mendadak saja jadi penuh. Berdesakan dengan penumpang lain menjadi hal yang lumrah karena sama terburu - buru. Ditambah lagi sopir yang seenak jidat menginjak rem, membuat orang – orang refleks maju serentak.

Kelemahanku adalah gampang mual saat berada pada kerumunan. Bisa dirasakan jika perutku mulai bergejolak aneh. Seolah ada sesuatu yang menganjal di dalam perut. Rasanya ingin segera memuntahkan semua sarapan tadi.

Aku merasa pusing karena kurang tidur dan sekarang? Benar – benar pagi yang kacau. Dan satu lagi, bus ini melaju dengan cepat, klaksonnya tak akan pernah berhenti berbunyi dengan mengebut di sepanjang jalan, menambah kebisingan.

Satu hal, harapan yang terdengar sepele terkabul. Hari ini cerah, aku baru menyadarinya saat berjalan menuju lapangan upacara. Bahkan angin berhembus lembut menyapu wajahku. Rasanya begitu menyenangkan.

Lihat selengkapnya