Mila menarikku dengan sekuat tenaga karena entah mengapa kaki ini seakan telah dilumuri lem, begitu lengket dan tak ingin meninggalkan UKS. Ingin sekali agar ia sadar akan keberadaanku. Aku memilih mengikuti langkah kaki mungil Mila yang berjalan keluar sambil berusaha tetap seimbang menahan pusing yang masih bisa dirasakan.
Tugas bahkan terasa semakin bertumpuk akibat dari absenya beberapa guru hari ini. Tak ada hal lain yang bisa dilakukan selain mengerjakan tugas matematika dari Pak Marno. Penuh perhitungan dengan rumus njelimet yang bahkan susah untuk dihapal. Pak Marno, guru matematika killer dan mana bisa untuk diabaikan begitu saja!
Kemarin nilaiku sempat jeblok dan sekarang tak ingin kena masalah lagi, entah remedial atau tugas tambahan. Saat itu, aku tak tahu dia datang dari mana. Yang jelas seseorang menyentuh pundakku secara intens, cukup untuk membuatku bergidik sekaligus kaget. Dan orang itu adalah Adam.
Menyebalkan!
Kita sering latihan boxing bareng. Tak heran jika penampilan badannya cukup atletis dengan kulit sawo matang yang bersih. Sebenarnya, matanya indah dengan kornea berwarna coklat sepertiku. Aku bakal iri, karena bulu matanya lebih lentik ketimbang punyaku. Rambutnya sedikit berantakan karena kebiasaan konyolnya dengan mengacak rambut saat tidak paham dengan pelajaran yang dipaparkan. Sekarang? Kemungkinan sama. Meski tipikal murid nakal bakal terlihat pada dirinya saat kesan pertama, tapi dia termasuk orang baik yang kukenal.
Wajahnya tertimpa cahaya matahari yang menelisik lembut masuk ke dalam ruangan. Adam masih menyentuh pundakku begitu pun aku, tidak berusaha melepaskan sentuhan itu. Rasanya nyaman juga seperti ini.
''Kau sudah sadar?” tanya Adam, “tadi kau pingsan begitu saja,” imbuhnya. Entahlah.. tidak ada rasa khawatir dalam nada juga ekspresinya.
''Sudah,” jawabku singkat dan dengan seketika ia melepaskan tangannya dari bahuku.
''Kenapa?'' pertanyaanku bukan 'kenapa dia melepaskan tangannya tapi kenapa dia bertanya tiba – tiba seperti itu' karena ini bukanlah gayanya.
''Enggak. Enggak ada apa – apa kok. Cuma nanya. Lagian kenapa kau tiba – tiba jatuh begitu, kukira ketiduran karena amanat upacara yang membosankan,” jawabnya enteng sambil mengedipkan satu matanya padaku yang seketika membuatku geli.
Aku memalingkan wajah, lebih tertarik pada tugas matematika ketimbang menanggapinya. Dia memang teman cowok yang paling akrab denganku sekaligus teman yang menyebalkan.
Tiba – tiba saja ia mengacak rambutku seolah - olah yang ada di hadapannya adalah anak kecil. Menyebalkan!
''Ih..,'' sahutku kesal dan lebih menyiratkan ekspresi jijik. Tapi entah mengapa, wajah yang sejajar denganku mendadak membuat lidahku kelu, seketika terdiam. Dari dekat dapat kulihat bola matanya yang indah selain wajahnya yang lumayan. Oh astaga! Pikiranku dibuat kacau!
''Nanti aku nyontek dong, oke?'' kata Adam dengan tenang sedikit menghanyutkan. Aku sempat tak berkedip, terpesona akan dirinya, seakan dia bukanlah Adam yang kukenal selama ini. Ia menyeringai, membuatku sadar jika ia telah menangkap basah ekspresi kikuk dari wajahku!
''Kerjain sendiri dong!" akhirnya terlontar satu – dua patah kata sambil berusaha bersikap acuh. Seketika senyumnya memudar merasa usaha dalam membujukku gagal. Tapi aku yakin saat ia berbalik, ada senyum manis mengembang di bibirnya.
*****
"Saf, nanti latihan boxing, yuk. Sudah lama nggak latihan nih,” ujar Adam saat jam istirahat tiba.
''Nanti?'' tanyaku balik.
Sudah beberapa bulan belakangan aku tidak ikut latihan boxing. Tapi belum sempat kuberi jawaban padanya tiba-tiba saja Silvi datang, mendadak mengeblak meja yang bisa membuat siapa saja kaget. Ekspresi menyeramkan tertahan di wajahnya.
''Pacaran terus sama Adam! Kapan ke kantinnya!'' kata Silvi sambil menatap Adam tajam.
"Cuma bicara bentar. Apa salahnya?" jawab Adam tak mau kalah. Aku tak akan membiarkan mereka bercekcok hanya gara - gara masalah kecil begini. Mereka berdua memang tak pernah sependapat.
''Ayo makan, aku lapar,” ajakku sambil meringis memamerkan sederet gigi berusaha mencairkan suasana. Adam tampak mengalah dengan memilih beranjak pergi. Lagian dia juga sudah mengenal aku akan bersikap bagaimana jika sudah begini.