NAIK KASTA

Lestari Zulkarnain
Chapter #2

Chapter tanpa judul #2



****

Minggu pagi kulihat Nyonya Siska begitu sibuk. Rupanya hari ini mau menjemput Nyonya Rabiah, mertuanya. Namun, dimana Tuan Khalil? Dari saat pertama kali aku datang, sama sekali belum pernah melihatnya.

“Sibuk ya Nyonya?” tanyaku pada Nyonya Siska-majikanku yang judes. Wanita itu hanya melirik dengan tatapan dingin.


Astaghfirullah, disapa kok nggak ada respon, pie iki, orang apa batu. Pergi aja, wis, mending jalan-jalan pagi, biar sehat sebelum Nyonya Rabiah datang.

Aku pun keluar untuk jalan-jalan dan menikmati suasana pagi serta melihat sekeliling komplek. Rupanya di luar cukup ramai. Rumah Nyonya Siska termasuk cluster paling depan dan memang masuk kategori rumah mewah.


Lokasinya sangat strategis, dekat bundaran tempat dimana banyak orang lalu lalang, juga bayak tukang ojek mangkal. Hmmm mungkin jika aku punya rumah di sini, bisa aku gunakan untuk jual gorengan.

Oya, ini hari Minggu, pantas banyak orang berolah raga. Ada yang lari pagi, ada yang jualan makanan, mainan, bahkan pakaian. Kalau istilah lainnya “Pasar Kaget.”

Terlihat ada yang sedang membeli makanan, bahkan ada yang hanya duduk-duduk menikmati sarapan pagi bersama pasangan.

Meski aku sendiri, percaya diri saja sebab tidak ada yang mengenaliku. Untungnya aku bawa kaos lengan panjang dan celana panjang, jadi bisa aku gunakan untuk berolahraga.

Aku berlari-lari kecil keliling bundaran, lama tidak berolah raga, jadi nafas terasa ngap-ngapan. Kulihat di tepi jalan ada yang jualan daster lucu, nanti aku ingin mencoba beli untuk sehari-hari di rumah.


Tiba-tiba aku seperti menabrak sesuatu.

BRUGH!

“Aww sakit!” teriakku lalu terpental dan jatuh telentang. “Aduh!” Astaghfirullahaladzim, sial sekali diriku ini, telah menabrak seseorang. Aku terlalu fokus melihat daster lucu.

“Punggungku, aduh, punggungku sakit.” Aku mengaduh sambil memegangi punggungku karena jatuhnya telentang. Mau bangkit agak susah. Orang yang kutabrak hanya melihatku dengan sinis bukannya membantu.

“Ini orang atau gedebog pisang, sih,” rutukku.

“Mas, tolongin dong, auwww sakit, malah diam aja,” teriakku pada seorang pria tegap dengan perawakan tinggi besar.

Pria itu tetap dingin, tangannya diulurkan kepadaku untuk membantuku bangkit.

Astaghfirullah, ini orang kok nggak ada ramah-ramahnya, sih. Nggak ada senyum, nggak ngomong. Ganteng sih ganteng, tapi sama wanita gitu banget, kalau punya suami macam gitu, sorry no way. Lagian belum tentu dia mau sama aku, hiks.

“Kalau jalan lihat-lihat!” hardiknya, tetep dengan nada datar. “Lain kali, matanya jangan jelalatan!” lanjutnya lagi. Astaghfirullahaladzim, kurang ajar sekali orang ini, ih gemesh.

“Eh Mas, sampeyan itu sudah tahu aku lagi jogging sambil lihat-lihat baju, mbok ya menyingkir gitu, kayak batu ngalangin jalan aja!” balasku. Pria itu menatap dengan tatapan tajam dan mendelik. Terlihat kesal di wajahnya.

Setelah itu aku balik kanan dan pergi meninggalkan pria tersebut yang masih terpaku, mungkin karena aku memarahinya, ha-ha-ha. Bodo amat, padahal aslinya aku yang bersalah, jalan tidak lihat-lihat. Tapi, gengsi lah, mengakui. Habisnya orang itu terlalu kuat. Aku yang menabrak, eh, aku yang terpental.

Sebaiknya aku sarapan dulu, pagi-pagi paling enak makan bubur ayam. Aku mencari-cari di mana terdapat penjual bubur ayam sembari memegangi punggung yang masih terasa sakit.

“Itu dia,” gumamku. Terlihat di pinggir jalan dekat bundaran ada gerobak bubur ayam khas Cirebon dengan tenda yang lumayan besar dan di bawahnya di gelar tikar. Sepertinya enak jika makan lesehan.


Aku mendekati tukang bubur di sisi jalan sekitar 50 meter dari tempatku berdiri. Pembelinya sangat ramai, sepertinya enak.

Lihat selengkapnya