NAIK KASTA

Lestari Zulkarnain
Chapter #7

Chapter tanpa judul #7

------

Untunglah sampai di terminal langsung dapat bus. Semoga Tuan Khalil tidak mengejarku. Maafkan aku ya, Nyonya, kalau aku di sana terus, mau ngapain? Nyonya-kan sudah sembuh.

Perjalanan memakan waktu 10 jam untuk sampai di terminal Jogja. Alhamdulillah jam 16.00 aku sampai. Setelah itu naik angkudes untuk menuju desaku, lalu ngojek karena rumahku ada di dalam, jadi tidak dilalui ankutan desa. Tepat pukul 16.45 sampai rumah.

Kangen dengan rumahku yang asri. Rumah kampung yang masih asri dengan bentuk joglo. Turun dari ojek aku langsung menuju rumah. Rumahku masih seperti yang dulu, asri, nyaman dan sejuk.

Sepi, pada ke mana? Biasanya sore begini duduk santai di depan pendopo.

“Refan!” Kupanggil nama anakku yang sedang bermain kejar-kejaran dengan seorang laki-laki yang tidak asing bagiku.

Mas Prayit? Untuk apa ke sini?

Refan menoleh ke arahku dan terkejut kemudian berlari menghampiriku.

“Ibu..! Aku kangen sama Ibu, Ibu kok nggak pulang-pulang to, Bu,” kata Refan---anakku yang setahun kutinggal merantau dan langsung memelukku. Dia tampak lebih tinggi dan gemuk.

“Refan, ibu juga kangen banget. Refan sehat, to?” balasku. Aku membelai rambutnya lalu kucium keningnya.

“Refan sehat, Bu, itu ada Bapak, Bapak sering ke sini aku sering di ajak jalan-jalan.” Refan menunjuk Mas Prayit.

Aku cuek karena rasa sakit yang dia torehkan padaku masih terasa. Keputusannya menikahi janda beranak satu tetangga desa yang menjadi penyebab runtuhnya pernikahanku.

“Oh iya, ayo masuk! Ibu sudah kangen sama Mbah Kung dan Mbah Uti,” perintahku kemudian menggandengnya masuk. Sementara Mas Prayit hanya memperhatikan kami tanpa menyela sedikit pun. Dia mengikuti kami ke dalam.

Diih ngapain dia mengekor, males lihat mukanya.

“Assalamualaikum, ibu bapak apa kabar?” Kedua orang tuaku menyambut kedatanganku dengan suku cita. Aku mencium punggung tangan kedua orang tuaku secara bergantian.

“Bapak dan Ibu sehat, to?” tanyaku. Mereka berdua mengangguk bahagia. Lalu aku memeluk keduanya, melepas rasa rindu dan mengucapkan terimakasih karena telah merawat anakku selama ini.

“Ibu, Bapak, aku ke kamar dulu, ya,” pamitku kepada kedua orang tuaku, kemudian aku masuk ke kamar meletakkan koper. Setelah itu aku ke dapur dan menemui ibu yang sedang membuat teh manis.

“Bu, apakah Mas Prayit sering ke sini?”Tanyaku. Ibu mengangguk sambil menuang teh ke dalam cangkir putih.

“Ngapain sih Mas Prayit ke sini, sudah cukup dia membuat luka, jangan menambahnya lagi!” Rasanya kesal jika mengingat masa lalu. “Bukankah dulu nggak peduli dengan Refan?” lanjutku.

Ibu masih diam, tangannya mengaduk teh manis yang akan disajikan di ruang tamu.

“Prayit sudah cerai dengan si Endah dua bulan yang lalu, dan sejak saat itu, dia sering ke sini juga sering mengajak Refan. Dia menyesal katanya, ah nanti biar Prayit yang menceritakan sendiri,” jawab ibu lalu membawa teh manis dengan nampan lalu bersiap ke ruang tamu.

“Ah, Bu aku capek, mandi terus istirahat.”

Aku ke kamar untuk mengambil handuk sekaligus baju ganti lelu ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelah semalaman di bus.

Usai mandi, aku langsung ke kamar tanpa menemui matan suamiku itu. Apakah dia tidak merasa bersalah karena dulu menceraikan aku? Masih punya nyali juga datang ke sini!

Melihat wajahnya aku merasa muak.

“Ibu,” panggil putraku yang tiba-tiba masuk ke kamar. “Bu, ke luar, yuk ,” pinta Refan. Tanganku ditarik -tarik olehnya agar aku mau ke luar. Sebenarnya malas, tetapi karena permintaan anakku akhirnya aku keluar juga. Aku ikut duduk di ruang tamu, di situ ada bapak dan ibu juga.

“Insani, di depan kedua orang tuamu, ingin rujuk padamu. Aku sangat menyesal, ternyata si Endah bukanlah wanita baik-baik. 2 bulan yang lalu aku menceraikannya,” ucap Mas Prayit membuka pembicaraan. “Ternyata, dia sangat egois dan tidak mau menerima Refan. Dia hanya mau hartaku saja,” lanjutnya. Aku tidak peduli dengan ucapannya. Bodi amat!

“Maka dari itu kebetulan kamu pulang, aku bermaksud ingin rujuk lagi denganmu demi Refan,” jelas Mas Prayit penuh penyesalan.

Aku haya diam dan tak tahu mau bilang apa, meski masih ada setitik cinta. Ya, hanya setitik, buka titik-titik, tetapi rasa sakit yang telah Mas Prayit torehkan mampu mengalahkan yang ae titik tersebut. Dia mwnatapku penuh harap.

“Nanti akan aku pikirkan lagi yo, Mas.” Aku bangkit lalu masuk ke dalam kamar dan tak ingin larut dalam kesedihan serta membuka luka lama yang sudah mengering. Namun, ibu mengikutiku dari belakang.

“Sani, sebelum kamu pulang, Prayit sudah bicara sama ibu bahwa dia menyesali semua perbuatannya,” ucap ibu sambil memegang kedua pundakku. “Ibu menyarankan bagaimana jika kamu rujuk lagi sama Prayit, demi anakmu. Kasihan dia, anak seumuran dia masih butuh kasih sayang Ayahnya.” Ibu membujukku, entah kenapa ibu sangat mendukungnya. Yang dikatakan ibu memang benar, tetapi tidak semudah itu.

“Maafkan aku, Bu, aku tidak bisa. Toh dalam Islam pun jika sudah talak tiga, tidak dapat rujuk kembali kecuali aku harus menikah lagi!” jawabku dan dibenarkan oleh ibu.

Lihat selengkapnya