"Memangnya dengan menangis terus, bisa mengembalikan Rofi!" tanya Mas Rasya sambil menatapku sinis tak bersahabat.
Aku terkadang heran, kenapa Mbak Mira mau bertunangan dengan duda satu anak itu. Aku sering memergoki saat ia berduaan dengan Mbak Mira di ruang tamu, seringnya duduk diam-diaman.
Jika sosok Mbak Ndari tak terganti, kenapa memaksa membuka hati?
Mungkin juga, alasannya karena Ibu turut andil mencampuri hidupnya, tak henti menyuruh Mas Rasya menikah lagi demi Adnan. Anak lelaki kakak iparku itu tinggal bersama Ibu karena Mas Rasya sangat sibuk. Bekerja dari pagi pulang sore, kadang menjelang dini hari. Rumah kami berdekatan, berjarak 3 kilo dari rumah ibu mertua. Jadi aku tahu betul kebiasaannya.
"Puspita, sudah." Bapak berkata lirih. Tangan Qila kuangkat dari wajah Mas Rofi yang terus membisu, tampak begitu marah.
Tak tahan lagi menanggung kepedihan, aku berlari pergi. Sakit rasanya, andai kamu tahu. Enam tahun kami ihtiar demi datangnya bayi, lalu setelah Qila menjadikan keluarga kami semakin berwarna oleh tangisan dan celotehnya yang menggemaskan, kini Mas Rofi pergi. Apa ini lucu?
Kustop taksi yang melintas. Sambil terus menangis dengan Qila dalam dekapan, kusebutkan alamat rumah. Sepanjang jalan tak henti menangis, membuat lelaki tua yang terus mengemudi sesekali menatap dari spion. Aku tak peduli. Manakah yang lebih sakit dari ini? Ditinggal pergi untuk selamanya. Andai aku tahu bakal seperti ini ... Ya Allah. Aku benar-benar tak menyangka kejadian seperti ini akan terjadi. Niat baik ingin membuat Mas Rofi bahagia malah berakhir petaka.
Sebagai istri, aku tahu semua tentang suamiku. Luar dalam. Ia terlihat sehat selama ini. Selalu menjaga pola makan dan menghindari makanan berlemak, tak ingin gendut, katanya. Mbak War selalu menyediakan makanan sehat untuk suamiku. Jadi, mana mungkin Mas Rofi meninggal karena serangan jantung?
Jantungku berdetak kencang saat memasuki kamar kami yang ceria. Dindingnya pink terang dengan gambar-gambar Hello Kitty nyaris memenuhi dindingnya. Ada beberapa bunga aneka warna yang telah mengering di dalam pot besar di sudut kamar, dari Mas Rofi. Hampir setiap hari, diberikannya bunga untukku. Kalau dikoleksi dari awal menikah, mungkin sudah berton-ton sampah mengering itu.
Aku menghela napas saat tatapan tertumbuk pada ranjang besar berseprei hewan melata tampak begitu nyata. Warna hewan-hewan mengerikan itu hijau terang dengan sisik-sisik yang membuat merinding. Di meja kecil samping ranjang tempat biasa Mas Rofi menyelesaikan pekerjaan yang harus dibawanya ke rumah, tampak kotak mungil dengan pita pink lembut. Kuletakkan Qila ke atas sprei yang membuatnya seolah tengah tidur di badan beberapa ular lalu meraih kotak di meja, membukanya pelan dan menahan napas.
Seharusnya, jam mewah ini ada di tangan Mas Rofi saat ini.
Seharusnya, kami sedang tertawa-tawa di ruang tamu dengan Ibu dan Bapak, dan aku akan menyuapi Mas Rofi potongan kue tar penuh cinta dengan Qila di pangkuannya. Seharusnya ....
Air mataku menetes.
Ya, Allah. Apa ini mimpi? Aku menggigit bibir kuat, rasa nyeri yang ditimbulkannya menegaskan bahwa yang kini terjadi bukan halusinasi. Nyata. Seprei hewan melata yang membuatku bergidik itu adalah bukti bahwa beberapa hari lalu, aku menerima tawaran Susi atas barang yang dijajakannya. Katanya, aku harus mencoba sesuatu yang baru. "Memberi kejutan kok, monoton," katanya sambil mengerling menggoda, menyenggol bahuku agar temannya ini mau membeli yang ditawarkannya.
Kupikir, tak ada salahnya. Pasti, lucu, melihat ekspresi Mas Rofi saat melihat motif seprei di mana Qila tengah tengkurap menghadapku. Membuatnya seolah tengah berada dalam tubuh ular-ular besar. Ya. Mas Rofi paling benci ular. Jangankan hewan itu, ketiban cicak saja lelakiku sudah teriak-teriak.
Tak puas hanya dengan seprei bermotif ular, aku memutar otak bagaimana agar kejutan kali ini tak biasa-biasa saja. Kuhubungi semua kerabat Mas Rofi, mengatakan pada mereka agar datang. Mas Rofi pasti akan senang dengan perhatian istrinya ini. Tapi, apa yang terjadi? Ini mendadak dan begitu cepat.
Tatapanku terpantik pada foto di atas meja. Foto Mas Rofi tengah tersenyum menggoda, seolah meminta agar aku segera merebah di dadanya. Saat itu, aku cepat-cepat mengambil HP dan mengabadikan gayanya yang lucu itu. Aku tersenyum kecil terngiang sepenggal kisah kebersamaan kami dulu, lalu menangis kencang.
Bagai mimpi.
Semua terjadi begitu cepat.
"Ooeeek. Oeeeek. Oeeeeek."
Aku menoleh menatap ke arah Qila, tangannya bergerak-gerak dengan mimik wajah sedih, minta diangkat. Matanya yang bundar jernih berkaca-kaca.
Menatap bocah tanpa dosa itu, seolah silet tajam tengah digerakkan ke arah dadaku dengan begitu cepat. Ngilu. Sangat ngilu. Tuhaaan, kenapa ini terjadi begitu cepat?
"Oeeeeek. Oeeeeek."