Ruteng 2006
Ruteng merupakan sebuah kota kecil di dataran tinggi Manggarai, yang dikelilingi oleh barisan pegunungan hijau yang menjulang seperti dinding alam raksasa. Dari kejauhan, punggungan gunung membentuk siluet biru yang tegas namun menenangkan, seakan memeluk kota di tengah lembah. Ruteng dipenuhi udara sejuk pegunungan, sering kali diselimuti kabut tipis di pagi hari, maupun sore hari. Hal ini yang membuat para penghuninya kadang merindukan matahari pagi. Ruteng juga memberikan suasana romantis dan tenang. Jalan-jalan kota tampak rapi, tidak terlalu padat, dengan aktivitas masyarakat yang berjalan pelan, mencerminkan ritme hidup yang sederhana dan damai. Ruteng begitu dingin namun hangat.
Ruteng bukan sekadar kota. Ia adalah tempat di mana cerita masa remaja, cinta pertama, dan kenangan sederhana bisa terasa begitu hidup, karena suasananya yang tenang, indah, dan penuh kehangatan.
Tiga orang remaja berusia sekitar 16 tahun, sedang duduk di balkon rumah sembari menikmati rujak buah yang mereka racik sendiri, mangga mentah yang mereka ambil di perkebunan orang dalam perjalanan pulang sekolah. Mereka suka sekali menghabiskan waktu di rumah Wulan, karena pemandangan yang mereka dapatkan darisana. Wulan tinggal bersama Kakek dan Neneknya, yang merupakan kepala yayasan dari salah satu sekolah menengah di Ruteng. Rumah yang mereka tempati Rumah itu berdiri anggun di atas sebidang tanah yang tenang, terbuat dari kayu tua berwarna cokelat hangat yang memancarkan aroma khas pegunungan. Bangunannya dua lantai, dengan jendela-jendela lebar yang sengaja dibuat menghadap ke gunung, memberi penghuni rumah pemandangan megah setiap kali pagi datang. Dari teras lantai dua, garis punggungan gunung terlihat jelas, kokoh dan selalu diselimuti udara sejuk.
Rumah itu baru berdiri sekitar 10 tahun, setelah masa pensiun Kakek dan Neneknya, mereka memilih membangun rumah sederhana di dekat sawah, dimana disana hanya ada sekitar lima rumah saja.
Halaman depannya dipagari bambu yang dianyam dengan rapi. Pagar itu tidak tinggi, cukup untuk menjaga privasi tanpa menghalangi panorama. Di dalamnya, halaman depan dipenuhi berbagai tanaman bunga,mawar merah muda, anggrek yang menempel di batang kayu, bunga krisan kuning cerah, dan semak hijau yang tumbuh rimbun. Udara di halaman selalu terasa sejuk, seolah setiap helai daun ikut menyimpan kesejukan pegunungan Ruteng. Neneknya selalu menghabiskan waktunya setiap pagi di halaman depan. Dan kakeknya akan menghabiskan waktu di halaman belakang, hamparan sawah membentang. Angin yang bertiup membawa suara gemerisik padi muda, membuat suasana rumah seolah selalu berada dalam pelukan alam. Di antara rumah dan sawah itu, terdapat sebuah pintu kayu sederhana sebuah akses kecil yang menghubungkan halaman belakang rumah menuju ke sawah, disana Kakek juga memelihara ikan di bantu oleh seorang pria tua yang bekerja mengurus ladang. Kakek juga memelihara sapi, ayam.
"Wulan ... Wulan ... " terdengar suara Nenek Julia memanggil dari lantai bawah. Sebelum Wulan sempat beranjak, suara Nenek kembali terdengar. Wulan menjawab sambil setengah berlari menuju lantai bawah. "Antar Nenek ke Gereja." Katanya.
Wulan melihat beberapa kotak kue diatas meja yang sudah di bungkus rapi dalam sebuah plastik warna merah. Nenek aktif di Gereja dan setiap harinya dia selalu sibuk dengan kegiatannya di Gereja.
"Kakek kemana?" Tanya Wulan.
"Kamu tau sendiri, Kakekmu tidak bisa tinggal diam, sekarang dia sibuk ikut panen di sawah orang." Jawab Nenek.
Wulan hanya menganggukan anggukan kepalanya pelan. Dia tau nanti saat Kakeknya pulang, pasti ada saja ilmu bertani ataupun bibit yang dia bawah.
"Aku ambil jaket dulu." Wulan naik lagi ke kamarnya. Dia mengambil jaket dan mengenakannya. Saat itu dia masih mengenakan rok sekolah abu-abunya.
"Mau kemana?" Tanya salah satu temannya, namanya Bia.