Naka Wulang

Ntalagewang
Chapter #2

Bertemu

Wulan menyingkirkan jaketnya yang basah kuyup, air hujan masih menetes dari ujung kainnya karena perjalanan pulang dari rumah Naka barusan benar-benar seperti lomba lari di bawah badai. Dengan langkah cepat, dia naik ke lantai atas dan langsung menemukan Bia dan Ayu yang sedang rebahan santai di atas karpet kamar.

“Kenapa wajahmu begitu?” tanya Bia sambil mengangkat alis, jelas sudah mencium drama. Dia tau betul ekspresi di wajah Wulan.

Dengan napas terengah dan ekspresi yang hampir meledak menahan cerita, Wulan duduk di karpet. Kedua temannya otomatis ikut bangun dan menggantungkan seluruh perhatian padanya.

"Sebelum cerita, keringkan dulu rambutmu itu."

Wulan mengibas sebelah tangannya “Naka kembali,” serunya, hampir seperti teriak kecil. Matanya berkilat, antara syok dan bahagia.

Bia dan Ayu langsung menatap satu sama lain, sama terkejutnya. “Serius? Bagaimana penampilannya sekarang? Apa dia tambah ganteng? Aku masih ingat banget wajah tampannya waktu SD.”

Komentar itu membuat Wulan terdiam sesaat. Rasa kesal kecil muncul di dadanya. Ia ingat jelas, Naka kecil yang selalu mengejeknya, gendut, hitam. Padahal cuma dia satu-satunya yang diam-diam suka sama Naka. Cinta pertama yang dijawab dengan ledekan. Memalukan.

“Kamu masih ingat tidak waktu kita kelas lima, ada murid baru datang ke kelas?” ujar Ayu sambil terkikik.

“Wulan Gregor,” jawab mereka bertiga serempak.

Dan seperti tombol memori dipencet, mereka langsung terbahak. Adegan konyol itu kembali muncul di kepala, Wulan Anthonius yang dengan bangga memamerkan surat cinta acak-acakan dari anak kelas enam si pemimpin upacara setiap Senin yang sebenarnya ditujukan untuk Wulan Gregor. Kekacauan total. Semua teman menertawakan Wulan hari itu… termasuk Naka.

Sampai sekarang Wulan masih merasakan panas di pipinya kalau ingat kejadian itu. Karena surat itulah, Naka terus-terusan memanggilnya dengan nama ayahnya agar Wulan tidak salah lagi.

“Dia jadi masuk seminari kan?” tanya Ayu pelan.

Wulan hanya mengangkat bahu. Dia tak pernah benar-benar tahu. Semua yang dia dengar hanya bisik-bisik kabar dari teman. Tapi satu hal pasti, kalau Naka benar masuk seminari… kesempatan Wulan untuk bersama dengannya hampir nol. Dan itu membuat dadanya sedikit sesak.

Hujan mulai mereda, membuat udara sore terasa lebih lembut. Bia dan Ayu pamit pulang. Rumah kembali tenang sampai Wulan mendengar suara motor berhenti tepat di depan gerbang.

Dia mencondongkan tubuh dari balkon. Jantungnya langsung meloncat. Ayahnya Naka… dan Naka sendiri.

Tanpa berpikir panjang, Wulan berlari turun membukakan pintu, berusaha keras kelihatan biasa saja walau hatinya sudah jungkir balik.

“Kamu mau tunggu Papa selesai atau balik?” tanya Ayah Naka. “Nanti Papa telepon kalau sudah selesai.”

“Aku tunggu di sini saja,” jawab Naka, masih tidak menoleh ke Wulan. Dalam hati, ia sebenarnya berharap Wulan menawarkan untuk masuk. Ada banyak hal yang ingin dia bicarakan. Terlalu banyak.

“Selamat sore, Pak Mantri!” sapa Om Alo, orang kepercayaan Kakek yang mengurus ternak. Tak lama kemudian, Kakek Darius muncul dari belakang.

Lihat selengkapnya