Wulan tidak bisa membayangkan hari-harinya sebagai teman sekelas sekaligus teman sebangku Naka. Sesekali ia mencuri-curi pandang ke arah Naka, menatap wajah tampannya yang tertidur pulas di tengah pelajaran. Naka masih sama seperti dulu, selalu terlelap saat guru menjelaskan, namun tetap mampu menjawab setiap pertanyaan dengan lancar. "Anak Pak Mantri ini memang agak lain."
Rasanya tak cukup hanya mencuri pandang. Wulan menoleh dan menatap Naka lekat-lekat. Ia tak khawatir ketahuan karena Naka tampak masih tertidur nyenyak. Senyum kecil terbit di wajahnya, seolah mengisyaratkan betapa ia terobsesi pada lelaki itu. perasaan yang ia pendam sejak lama, kini tumbuh semakin dalam apalagi saat Naka kembali. Saat SD dia mulai menyukai Naka, wajah tampan Naka memang sangat sulit di abaikan. Namun kadang tingkah Naka yang menyebalkan sering membuatnya kesal.
“Jangan menatapku terus, Anthonius. Dengar dan perhatikan penjelasan gurumu. Otakmu belum sepandai otakku,” gumam Naka pelan, masih dengan mata terpejam.
Wulan terperanjat. Matanya terbelalak. Ia malu karena ketahuan sedang menatap Naka, tapi berusaha menutupi rasa malunya. Ia mendesis pelan, menunduk, dan mendekatkan mulut ke telinga Naka.
“Jangan tidur terus, Naka… air liurmu menetes kemana-mana,” bisiknya, lalu menyentil dahi Naka cukup keras. Naka langsung terbangun dengan keluhan kesakitan, menatap Wulan dengan wajah kesal. Namun sebelum sempat membalas, Pak Guru memanggil Wulan untuk membacakan dialog bahasa Jerman.
“Also, ich weiß nicht. Das hört sich ja nicht so toll an. (Well, I don’t know. That doesn’t sound so great),” Wulan membaca dengan hati-hati, takut salah. Dia menyukai pelajaran Bahasa Jerman dan berencana ingin melanjutkan studinya ke Jerman.
“Wulan, perhatikan cara baca ö,” Pak Guru menegur, lalu mencontohkan pengucapannya. Setelah mencoba lagi, Wulan tetap kesulitan.
“Naka, giliranmu,” ujar Pak Guru.
Tanpa ragu, Naka mengucapkan dialog dengan sempurna, seolah bahasa itu sudah ia gunakan sehari-hari.
“Aku sudah bilang, kan? Otakmu belum sepandai diriku,” kata Naka bangga. "Lain kali, saat Guru sedang memberikan penjelasan, fokuslah, jangan terpukau dengan ketampananku."
“Bagaimana kau bisa mengucapkannya selancar itu?” tanya Wulan, begitu mereka kembali duduk.
“Itu karena aku pintar,” jawab Naka dengan wajah menyebalkan.
Wulan mendecak kesal, lalu mencubit lengan Naka. Dia kesal dengan keangkuhan yang dia pamerkan, walaupun sebenarnya wajar-wajar saja Naka melakukannya karena dia memang pintar.
“Aku sudah ikut kursus bahasa Jerman. Sekarang levelku sudah A2. Kau tak percaya?”
Wulan menggeleng. Ia bahkan baru berencana mengambil kursus bahasa Inggris karena kemampuannya masih sangat buruk, sementara Naka sudah sampai level A2 untuk bahasa Jerman.
“Benar kau sudah level A2?”
“Mau lihat sertifikatnya?”
“Tidak perlu,” gumam Wulan. “Buktikan saja dengan mengajariku bahasa Jerman. Kalau aku bisa, akan kuakui.”
Naka terkekeh. “Bilang saja kau ingin aku mengajarimu. Tenang saja, kau pasti bisa, tapi takkan pernah melampauiku.”
“Kenapa kau ambil kursus bahasa Jerman?”