Jarum jam menunjuk pukul tiga sore ketika Wulan berlari masuk ke rumah, seragam sekolahnya masih melekat dan napasnya sedikit terengah. Ia menanggalkan sepatu di teras, menyelipkannya rapi di bawah bangku kayu, lalu menyapa neneknya yang sedang berbicara dengan Tante Helda di ruang tengah.
“Sore, Oma,” ucapnya sambil mencium pipi Neneknya sebelum bergegas menaiki tangga.
“Kadang Nenek, kadang Oma,” sahut Tante Helda, setengah mencibir setengah geli. Memang begitu Wulan, menentukan sebutan untuk kakek-neneknya sesuai suasana hati.
Setibanya di kamar, Wulan langsung menduduki kursi belajar. Dengan gerakan hafal, ia membuka kain penutup tape, menyalakannya, dan memutar frekuensi radio hingga menemukan saluran favoritnya. Ponselnya sudah menunggu di tangan, seolah menjadi bagian dari ritual sore yang tak boleh diabaikan.
Ia adalah pendengar radio setia di Kota Ruteng. Setiap pukul tiga sore dan tujuh malam, Wulan tidak pernah absen mengirim salam untuk sahabat dan teman-teman sekolahnya, selalu pesan yang sama, untuk orang yang sama, ditemani lagu yang menyesuaikan mood.
Namun sore ini berbeda. Jemarinya menari gugup di layar ponsel, mengirim salam untuk seseorang yang tak pernah ia sebut namanya. Seseorang yang akhir-akhir ini terlalu sering muncul di kepalanya.
“Wah… sepertinya Wulan sedang jatuh cinta. Sama siapa, tuh?” goda penyiar radio setelah membaca pesannya.
Wulan buru-buru menutup wajah dengan tangan, pipinya panas. Ia meminta lagu Keane Somewhere Only We Know, lagu kesayangannya terlalu manis untuk diputar tanpa alasan.
“Kamu sudah gila, ya? Senyum-senyum sendiri begitu?”
Wulan terlonjak. Ia sama sekali tidak sadar Bia berdiri di ambang pintu, membawa piring kaca berisi kue lemet hangat, parutan singkong dan kelapa yang harum gula merah.
“Kamu baru pulang? Ada kelas tambahan?” tanya Bia, menyerahkan piring itu.
“Tidak. Tadi aku ke perpustakaan kota,” jawab Wulan, menerima kue. Bia memang selalu membagi apa pun yang dimasak ibunya.
“untuk apa ke sana?”
“Aku harus kerja tugas sastra. Oh iya, kau harus tahu… Naka satu kelas denganku. Dan…” Wulan menelan ludah. “Dan dia teman sebangku.”