Naka Wulang

Ntalagewang
Chapter #6

Keliling kota

“Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Wulan kesal. Sejak tadi Naka tak henti-hentinya menatapnya dengan tatapan aneh yang sulit diartikan. “Hati-hati, Naka…”

“Hati-hati apa? Takut aku terpesona sama kamu?” balas Naka dengan nada menantang. “Memangnya kenapa kalau aku terpesona?”

Wulan hanya menghela napas, malas menanggapi. Naka memang seperti itu, apa yang terpikir langsung diucapkan, tanpa filter, tanpa malu.

“Sudah malam, Naka. Pulang sana. Kamu tidak takut? Pulang sejauh itu, lewat sawah, dan ...”

Naka melirik jam tangan, lalu menarik napas panjang seolah baru menyadari waktu yang berjalan.

“Wah, lama juga ya aku ngajarin kamu. Kalau aku kasih tarif per jam, bisa kaya mendadak aku.”

Wulan mencibir. “Jadi kamu tidak ikhlas ngajarin aku?”

“Tidak,” jawab Naka datar, tanpa ragu.

“Berapa yang harus aku bayar? Lagian aku juga tidak minta kamu ngajarin. Tapi karena aku menghargai niat mu, ya sudah, bilang saja berapa.”

Naka malah tersenyum iseng. “Tadi aku dengar anak-anak kelas ngomong soal pasar malam. Katanya baksonya enak. Ayo kita pergi ke sana.”

“Pasar malam? Kau mau Kakek dan Nenekku membunuhku?” Wulan mendelik. Dia tidak pernah diberi izin keluar malam, apalagi dengan teman laki-laki. Bisa-bisa neneknya ceramah seharian.

“Aku yang minta izin deh. Lagian cuma makan bakso.”

“Jangan!” Wulan panik. Bukan hanya takut dimarahi, tapi keberanian Naka yang kelewat santai justru yang membuatnya was-was.

Saat mereka masih berdebat tentang pasar malam, Nenek muncul dari ruang tengah. Raut wajahnya tampak senang melihat Wulan dan Naka belajar bersama, prestasi Naka memang tidak bisa di ragukan lagi.

“Naka, Wulan, makan malam dulu,” ajaknya.

Belum sempat Wulan menolak atau mengalihkan pembicaraan, Naka dengan spontan maju selangkah.

“Maaf, Oma… boleh tidak aku ajak Wulan makan bakso sebentar? Kepala kami rasanya sudah penuh setelah belajar berjam-jam. Butuh sesuatu yang segar-segar.”

Wulan langsung melotot tajam ke arahnya. Naka benar-benar nekat minta izin langsung pada Nenek yang terkenal keras itu.

“Makan bakso?” Nenek mengulang perlahan. Bukan baksonya yang menjadi masalah, tapi malamnya. Selama ini Wulan paling telat keluar hanya sampai jam enam, itu pun kalau ada keperluan mendesak.

“Cuma bakso, Oma. Satu jam saja. Sudah termasuk waktu berangkat dan pulang,” tambah Naka cepat dan berusaha untuk melakukan negosiasi.

Wulan menggeleng kecil. Tingkah Naka benar-benar membuatnya geleng kepala.

“Kamu sudah izin sama orang tuamu?” tanya Nenek.

“Aku telepon sekarang, Oma.” Tanpa menunggu, Naka mengeluarkan ponselnya dan menelepon mamanya. Ia sengaja menyalakan loudspeaker agar Nenek juga bisa mendengar. Setelah mendengar suara ibunya memberi izin, Nenek akhirnya mengangguk pelan.

Wulan terperanjat. Neneknya tidak pernah semudah ini memberi izin. Mungkin karena segan pada keluarga Naka, keluarga terpandang yang menurut Nenek ‘tidak akan melakukan hal aneh-aneh’.

“Ayo,” kata Naka sambil mengenakan jaket. “Kita cuma punya waktu satu jam.”

Lihat selengkapnya