Naka Wulang

Ntalagewang
Chapter #8

Hari Sial?

“Bagaimana rasanya dihukum? Enak kah?” tanya Naka, saat melihat Wulan meringis kesakitan sambil membersihkan kerikil kecil yang menempel di lututnya.

Wulan mendongak sekilas dan mendengus kesal. Pertanyaan Naka benar-benar tak penting, jelas sekali ini sakit, dan juga memalukan. Pentol pedas yang tadi ia beli pun kini tak lagi menggugah selera.

Naka menunduk, meraih plastik berisi pentol pedas Wulan yang belum sempat disentuh. Hukuman yang barusan dijalani Wulan memang berat, setelah berlutut lama, ia dipaksa berdiri dengan kedua tangan menempel di telinga. Tak hanya tubuhnya yang sakit, ia juga kehilangan nilai praktikum Sastra karena tak sempat masuk kelas. Jika Kakek dan Neneknya, maka habislah dia.

“Naka! Kembalikan pentolnya!” seru Wulan. Ia berusaha melompat meraih pentolnya, tapi Naka sengaja mengangkat plastik itu lebih tinggi. “Berikan padaku!”

Alih-alih menyerah, Naka malah tersenyum jahil, membuat Wulan semakin kesal. Akhirnya, setelah puas menggodanya, Naka mengembalikan pentol itu dengan senyum lebar di wajahnya.

Wulan langsung meraih pentolnya, membuka bungkusnya, dan menawarkannya pada Naka.

“Kau memang teman sebangkuku yang baik,” gumamnya setengah kesal dan menyindir.

“Aku bukan temanmu. Aku hanya membagikan makananku karena kau terlihat sangat menginginkannya,” sahut Wulan.

“Kalau begitu… aku ini siapa bagimu, Anthonius?” tanya Naka, nada suaranya setengah bercanda namun matanya menatap serius. “Apakah kau akan memberikan apapun yang kuinginkan darimu hanya karena aku teman sebangkumu?”

Wulan terdiam, tak menjawab. Naka kembali jahil, meraih dagu Wulan agar menatapnya. Seketika, jarak di antara mereka begitu dekat. Jantung Wulan berdebar hebat, wajahnya pun memanas.

“Ah, pedas!” serunya tiba-tiba, pura-pura mengalihkan perhatian karena tak sanggup menatap mata Naka lebih lama.

“Kau orang Manggarai, kan? Masa makan pentol saja sudah kepedasan?” goda Naka, lalu mengambil satu pentol dari meja dan memasukkannya ke mulutnya.

“Kenapa kau makan? Aku belum menawarkannya lagi!” protes Wulan.

“Aku pikir kau tak mau lagi. Wajahmu sudah seperti terbakar karena kepedasan,” balas Naka santai. Ia meletakkan pentol di meja.

Tiba-tiba dari arah pintu, suara Yani terdengar nyaring, “Wulan! Ibunya hanya pakai sambal tomat di pentolnya, tak ada pedas-pedasnya!” Yani, yang sama-sama pecinta pedas, melambaikan tangan ke arah Wulan.

Wulan menoleh cepat dan mendesis, malu. Kenapa Yani harus muncul di saat seperti ini? pikirnya kesal.

Naka mendekat, menatap Wulan penuh selidik. “Jadi…”

“Jangan katakan apa-apa. Nikmati saja makanannya!” potong Wulan cepat, lalu bangkit seiring bel tanda masuk kelas berbunyi.

Lihat selengkapnya