"Kau tau, aku tidak suka dingin seperti ini." Keluh Wulan pada Ayu, karena Ayu kembali membuat rencana untuk lari pagi lagi minggu depan. Wulan menolak dengan tegas. Dia tidak mau lari pagi lagi apalagi sepagi tadi.
"Kau ini, seperti bukan orang Ruteng saja. Lahir dan di besarkan di Ruteng, tetapi masih saja belum terbiasa dengan dinginnya Kota Ruteng."
Pagi itu, mereka duduk di depan toko roti untuk membeli Kompiang. Toko baru akan di puka pukul enam pagi, mereka masih perlu menunggu selama tiga puluh menit lagi.
Mereka duduk sejajar di sepanjang trotoar depan toko. Sembari menunggu mereka berbicara banyak hal sementara Naka dan Khian sedang melempar -lempar batu kerikil ke jalanan.
"Jadi, bagaimana rasanya?" Tanya Khian.
"Rasa apa?" Naka bingung. Dia memikirkan jika Khian sedang membicarakan Wulan. Apakah Khian menyadari perasaan Naka pada Wulan.
Khian tersenyum kecil dan membuat Naka penasaran dengan arti senyumannya.
"Aku sedang menanti-nanti, apakah bunga-bunga di taman itu akan bermekaran saat matahari terbit atau saat matahari terbenam? Aku penasaran." Mata Khian menatap lurus ke halaman sebuah rumah yang penuh bermacam-macam Bunga. Khian menatap Naka, dia menanyakan jawaban Naka.
Naka menatap Wulan dan Dion bergantian. Dia mengartikan pertanyaan Khian seperti kisahnya. Senyum Wulan terlihat jelas saat bersama Dion, tetapi saat bersama dia? Hanya kekesalan yang tampak di wajahnya.
"Aku tidak akan menunggu bunga itu mekar saat matahari terbit atau matahari terbenam. Aku akan mengambil bunga yang aku mau dan menjaganya entah sampai kapan dia akan bermekaran." Jawabnya. Dia iseng melempari Wulan yang sedang tertawa dengan kerikil kecil di depannya.
Wulan langsung mengerutkan bibirnya dan menatap kesal kearah Naka. "Dasar sinting!" Dia balas melempari Naka.
"Kalian berdua selalu saja seperti ini. Herannya, kalian selalu berada di sekolah dan kelas yang sama." Kata Dion.
"Itu artinya, kau sudah tau seperti apa kehidupan ku di Sekolah." Wulan kembali mengerutkan bibirnya kearah Naka.
Naka membalas dengan menjulurkan lidahnya, membuat Wulan semakin kesal.
Suara rolling door di buka terdengar. Wulan yang sejak tadi menunggu, langsung bergegas untuk membeli kompiang pesanan Ibunya. Aroma kompiang bakar saat itu langsung tercium dan membuat Wulan menelan ludah. Wulan membeli satu plastik kompiang original dan tiga buah kompiang isi daging babi.
Selain Wulan, teman-temannya juga membeli kompianh dengan rasa yang berbeda. Selesai membeli Kompiang, mereka kembali jalan cepat untuk kembali ke rumah. Kali ini mereka memilih jalan pintas yang di kelilingi banyak sawah, langkah mereka semakin cepat saat melewati kuburan. Walau langit sudah terang dan mereka jalan ramai-ramai, namun mereka takut saat melewati kuburan yang berada persis di depan sebuah penggilingan padi yang sudah lama tidak di gunakan.
Mereka memilih jalan pintas karena ingin segera tiba di rumah dan bersiap-siap untuk ke Gereja.
"Nanti kamu ke Gereja sama siapa?" Naka berbisik pelan ketika dia sedang melangkah di samping Wulan. Naka tau, biaasanya Wulan selalu ke Gereja dengan Ayu.
"Mungkin sama Ayu. Kenapa?"
"Hari ini Gereja sama aku saja. Aku akan jemput kamu di rumah." Naka langsung berlari pelan karena tidak ingin mendengarkan jawaban Wulan. Di belakang Naka, Khian berteriak meminta Naka untuk menunggunya.
"Aturan mainnya tidak seperti itu. Setidaknya kau membiarkannya memberikan jawaban."