Menemui Dion ke rumahnya saat hari sudah malam adalah rencana terburuk yang dipikirkan dan di jalankan oleh Wulan. Di daerahnya, saat jarum jam sudah menunjukan pukul enam sore, jarang sekali masih ada orang yang berkeliaran di luar rumah, kecuali kalau di lapangan Badminton atau lapangan Takraw dan jika ada pesta. Orang-orang malas keluar malam hari bukan karena takut setan ataupun orang jarang, melainkan karena dinginnya kota Ruteng di malam hari sangat menusuk.
Wulan mengajak Wen untuk menemaninya. Di perjalanan menuju rumah Dion, suasananya begiru sepi dan jalanan gelap. Tak banyak rumah yang menggunakan lampu jalan, jika pun ada yang memakai lampu di halaman rumahnya suasananya juga tak begitu terang karena banyak pepohonan di depan rumah.
Wen memegang tangan Wulan dengan erat, ketika mereka melewati sebuah rumah kosong yang halaman depan rumahnya di tumbuhi tiga pohon cengkeh yang rimbun. Banyak gosip beredar jika rumah itu horor dan tiga pohon cengkeh itu di huni oleh banyak setan. Wulan mencoba untuk tenang, karena jika dia ketakutan maka Wen pasti akan lebih takut darinya.
"Kakak, kenapa kita melewati rumah ata mbeko? Kita lewat jalan raya saja. Nanti kalau kita lewat rumah itu, pasti ada suanggi." Katanya.
Ucapan Wen tidak mengada-ngada, dukun yang dikatakan oleh Wen memang benar adanya, dia dukun yang sangat mengerikan, tak jarang anak-anak kecil akan menghindarinya jika sedang berjalan sendirian.
"Kalau kita lewat jalan raya, nanti kita lewat pohon cengkeh lagi. Pulangnya saja kita lewat jalan raya." Kata Wulan.
Mereka berdua mempercepat langkah mereka saat melewati rumah dukun. Untung saja saat itu ada sekitar dua orang penjual ikan melewati rumah dukun itu juga. Kedua penjual ikan itu memikul baskom berisi ikan di atas kepala mereka, sambil berteriak "Ikang.. Ikang... " hari memang sudah menunjukan pukul tujuh malam, namun sudah biasa jika saat itu masih ada penjual ikan yang lewat, karena berharap semua dagangan mereka terjual, ada beberapa penjual ikan juga memilih untuk menukar ikan dengan beras.
Sangat lega ketika mereka melewati rumah dukun dan tiba di depan rumah Dion. Pintu depan rumah Dion sedikit terbuka, ada sebuah motor yang masih menyala.
"Dion ... Dion ... " panggil Wulan dari depan pintu. Wen yang ada di sampingnya juga ikut memanggil nama Dion. Tak lama, Kakaknya Dion muncul dan menyuruh Wulan dan Wen untuk masuk, saat itu Dion dan keluarganya sedang makan malam dan mereka mengajak Wulan dan Wen untuk bergabung, namun Wulan menolak dan memilih menunggu Dion di ruang tamu. Wulan menggunakan alasan meminjam buku untuk bisa menemui Dion.
Di waktu yang bersamaan, Dion sengaja memperlambat makannya, dia belum mau bertemu dengan Wulan, tetapi Ibunya terus mendesak Dion untuk makan dengan cepat lalu menemui Wulan.
Dion mendesah, Wulan memang tau caranya agar Dion mau berbicara dengannya. Setelah makan Dion pergi menemui Wulan dan menyuruh Wen untuk menonton TV dengan Ibunya Dion, karena dia takut jika Wen mendengar apa yang mereka bicarakan saat itu.
"Dia yang menyuruh kamu untuk datang kesini?" Tanya Dion. Dia yang dimaksud adalah Naka. "Kamu begitu peduli padanya, kamu memikirkan perasaannya. Bagus sekali." Sindirnya.
"Tidak. Aku sendiri yang ingin menemuimu dan menjelaskan semuanya padamu." Kata Wulan. Dia tidak mau hubungan persahabatan mereka selama ini hancur hanya karena masalah percintaan.