Naka Wulang

Ntalagewang
Chapter #9

Pengobatan

Sore itu, Wulan datang ke rumah Naka bersama Kakek dan Neneknya. Langit tampak mendung, sepertinya akan turun hujan. Tubuhnya setengah disangga Kakek, setengah dipaksa berjalan oleh tekadnya sendiri. Setiap pijakan menghadirkan nyeri yang berusaha ia sembunyikan rapat-rapat. Di kepalanya masih terngiang darah dan kulit yang terluka cukup lebar.

Begitu sampai, Nenek langsung bertanya pada wanita yang bekerja di rumah itu.

“Bu Dokter sudah pulang?”

“Sudah, Nek. Ayo, silakan masuk,” jawabnya ramah.

Wulan menyeret langkahnya masuk, masih dalam rangkulan Kakek. Mereka menunggu di ruang tamu. Dari arah dalam rumah, terdengar suara seorang wanita mengoceh panjang, nada khas orang tua yang sedang kesal.

“Mama belum selesai bicara, Naka. Kamu tunggu di situ dan jangan ke mana-mana!”

Wulan spontan menunduk. Dadanya menghangat oleh rasa malu. Kenapa harus ke rumah Naka? batinnya getir. Ia sudah bisa membayangkan ejekan Naka yang pasti akan datang, seperti biasa tanpa ampun, tanpa jeda.

Tak lama, Mamanya Naka keluar menghampiri mereka. Begitu melihat kondisi Wulan, langkahnya langsung terhenti. Wajahnya berubah.

“Ya Tuhan… Wulan?”

Wulan semakin menunduk. Tangannya mengepal di pangkuan. Jangan tanya. Tolong jangan tanya, pintanya dalam hati. Ia takut, sedikit saja suaranya pecah, air matanya akan jatuh tanpa bisa ditahan.

Saat nama Wulan dipanggil, seseorang lain ikut muncul di ambang pintu ruang tamu. Naka. Masih mengenakan seragam sekolah. Sepertinya ia baru pulang dan baru saja menjadi sasaran omelan Mamanya.

Begitu melihat Wulan, raut wajahnya berubah. Isengnya meredup, digantikan keterkejutan yang tak sempat ia sembunyikan.

“Wulan?” suaranya lebih pelan dari biasanya. Ia melangkah mendekat. “Kamu kenapa? Jatuh di mana?” luka karena berlutut di Sekolah tak seberapa dengan luka dia jatuh.

Wulan tidak menjawab. Rahangnya mengeras, menahan rasa sakit yang berdenyut di kakinya juga menahan keinginan kuat untuk memukul Naka agar diam karena dia terus mengoceh.

“Kamu tuh, kenapa sih tadi tidak mau pulang bareng?” Naka mulai mengoceh lagi, nada kesalnya muncul, tapi matanya justru sibuk meneliti wajah Wulan yang pucat.

“Naka,” Mama menegurnya, “bukan waktunya marah. Ayo bantu Mama bawa Wulan ke ruang sebelah.”

Naka terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis senyum jahil yang dipaksakan.

“Bisa jalan sendiri tidak?” godanya. “Atau mau aku gendong sekalian?”

Wulan melirik tajam. Dalam hati, ia menghitung sampai sepuluh agar tangannya tidak benar-benar mendarat di lengan Naka.

“Iya, iya,” Naka cepat mengalah. Ia merangkul Wulan dengan hati-hati, kali ini tanpa bercanda. Langkahnya pelan, seolah takut sedikit saja salah, Wulan akan jatuh atau lebih parah benar-benar memukulnya.

Lihat selengkapnya