Tempat kerja Bapak lumayan jauh dari rumah. Sebagai pengusaha angkutan umum, Bapak membeli sebuah lahan yang dijadikan sebagai kantor sekaligus bisa dijadikan garasi angkutan umum miliknya. Namun, siapapun lebih terbiasa menyebutnya dengan garasi.
Bapak memiliki beberapa bis kota, angkot kuning dengan rute perkampungan, serta sebuah taksi. Karyawan Bapak hanya terdiri dari sopir dan kernet. Sedangkan Bapak sendiri yang mengurus segala sesuatunya, termasuk administrasi dan gaji mereka.
Menjelang Maghrib, Bapak pulang dan melajukan vespanya menuju jalan tikus. Rute yang biasa dilalui setiap berangkat dan pulang bekerja. Kondisi jalanan sore itu tidak terlalu ramai karena Bapak lebih suka melintasi jalan perkampungan yang di kanan kirinya masih banyak sawah.
Ketika berbelok ke arah jalan raya kampung yang belum begitu banyak rumah penduduk, Bapak diikuti sebuah mobil sedan berwarna hitam. Awalnya, Bapak tidak curiga dengan mobil yang melaju di belakangnya. Namun, Bapak mulai merasa ada yang janggal ketika mobil itu berjalan sangat dekat di belakang vespa, padahal bisa saja menyalip karena jalanan yang tidak ramai.
Tanpa diduga, mobil itu dengan sengaja memepet vespa Bapak hingga membuat Bapak tidak bisa melajukan motor dengan baik. Mobil itu tiba-tiba main banting stir ke kiri menghalangi jalannya vespa Bapak. Sampai akhirnya Bapak terjatuh karena hilang keseimbangan.
Dalam waktu singkat, dua penumpang mobil turun dari pintu belakang sopir dan dengan kasar merebut motor Bapak. Sementara Bapak yang berusaha bangkit, kalah sigap dengan laki-laki berbadan kekar itu. Bapak yang sudah berkepala tujuh, tidak lagi sekuat dulu.
“Sudah tua masih banyak gaya!” ucap salah seorang lai-laki bertubuh kekar di antara mereka sambil menendang badan Bapak.
Bapak tidak melawan, berusaha untuk bangkit dan mengusap-usap badannya yang baru saja ditendang oleh salah satu dari mereka. Bapak melihat wajah-wajah pelaku tersebut dan menyadari bahwa mereka adalah anak buah Hendra, pengacara Bapak.
Sementara laki-laki satunya yang sama-sama berbadan kekar dan memakai pakaian serba hitam segera mengambil alih vespa Bapak. Dalam waktu sekejap, vespa Bapak sudah berhasil dibawa kabur. Mobil yang tadi memepet Bapak dengan cepat mengikuti vespa itu dari belakang sambil dengan sengaja mengarahkan knalpot ke arah wajah Bapak. Membuat Bapak terbatuk-batuk karena asap kendaraan tersebut.
“Kenging menapa, Pak? Welah, sampeyan Pak Mahmud to?”[1] seorang laki-laki paruh baya berlari menghampiri Bapak. Salah satu tangannya tergenggam arit. Laki-laki itu bernama Sholeh yang baru saja pulang dari sawah.
“Mboten nopo-nopo, Pak. Matur nuwun,”[2] jawab Bapak sambil terbatuk-batuk.
“Welah dhalah. Dhawah kok mboten nopo-nopo pripun. Vespanipun dhateng pundi?”[3] tanya Pak Sholeh.
“Dipun betha tiyang,”[4] jawab Bapak seadanya.
“Mangga dhateng griya kulo rumiyin, mangke kulo nderekaken wangsul,”[5] ajak Pak Sholeh.
Bapak berdiri dibantu Pak Sholeh. Beruntung Bapak tidak dilukai fisiknya oleh anak buah Hendra.
“Mboten, Pak. Kulo mlampah mawon,”[6] tolak Bapak dengan sopan.
“Sampeyan niku kados pelawak, griya tebeh kok badhe mlampah. Wes ayo, dhateng griya kulo rumiyin,”[7] Pak Sholeh memaksa Bapak untuk ikut ke rumahnya dan setelah itu akan diantarkan pulang dengan naik motor.