Bandung,
Abimanyu Adhinata, laki-laki berusia dua puluh enam tahu sedang menatap anak-anak dari balik jendela. Anak-anak laki-laki sedang bermain bola membuat bibir Bima terangkat, melengkung membentuk senyuman. Bangunan khas Belanda yang lumayan luas membuatnya kembali mengingat masa-masa paling berat yang pernah ia hadapi. Tapi entah kenapa, berada di sana membuat hatinya menghangat.
“Ngeliatin apa, Bim?” Perempuan berwajah Indo datang. Tangannya memegang nampan dengan dua mug putih di atasnya.
Bima tersenyum. Kemudian duduk di kursi dekat jendela. Sejak awal, tempat duduk di bagian paling belakang rak perpustakaan menjadi favoritnya. Rak buku yang menghalangi pandangan orang-orang, jendela yang membuatnya bisa bebas memandang keluar, dan ketenangan yang disediakan. Dulu Bima hampir tidak bisa hidup dengan tenang di tempat yang penuh anak-anak ini.
“Biasa, kak,” Bima meraih mug yang disodorkan padanya. “Coklat,” Bima menggumam. Matanya menatap coklat panas yang masih mengeluarkan asap tipis dari permukaannya.
“Kenapa, Bim? Udah enggak suka coklat?”
Tatapan khawatir dari kakak perempuannya membuat Bima kembali tersenyum, kepalanya menggeleng pelan.
Bima menyeruput sedikit minumannya. Udara dataran tinggi membuat coklat yang mengaliri tenggorokannya semakin terasa nikmat.
“Tetep suka kok, kak. Suka banget palah,” Kalimat Bima menggantung.
Perempuan yang terpaut sembilan tahun dengannya tersenyum lega. Tatapan mata dari balik kacamatanya cukup teduh. Perempuan yang menjadi cinta pertama Bima, perempuan yang punggungnya menjadi tempat bersembunyi saat ada teman-teman yang mengganggu, dan perempuan yang mendorong dari belakang saat dirinya merasa ragu.
“Apa lagi kalau kak Gita yang buat,” Bima mengacungkan satu jempulnya. “Jadi inget masa lalu aja bawaanya.”
Senyum lembut itu hilang. Wajah yang tenang berubah menjadi khawatir. Gita menyentuh tangan Bima.
“Aku udah bilang kan, Bim? Kamu jangan inget-inget masalah itu lagi! Udah duapuluh tahun, enggak penting buat diinget-inget lagi.”
Perhatian itulah yang membuat Bima pernah merasakan cinta yang tidak masuk akal. Rasanya mendebarkan. Setelah kehilangan begitu banyak, dia mendapat pundak untuk bersandar, tangan yang memeluknya, serta menjaga.
“Aku enggak sengaja keinget aja,” Bima menoleh, menatap luar jendela. “Tempat ini ternyata punya memori yang cukup kuat buat aku, kak. Udah dua puluh tahun, tapi kalau duduk di sini aku kayak bisa ngelihat masa itu lagi. Waktu aku baru dateng dan enggak bisa ngomong apa-apa, waktu aku milih duduk sendirian, ngejauh dari anak-anak lain. Tiba-tiba otak aku muter kenangan waktu itu lagi.”
“Bim…”
Tidak ingin membuat kakak perempuannya khawatir, Bima memilih untuk terkekeh ringan. Walaupun sudah melahirkan dua anak, wajah Gita masih terlihat cantik di mata Bima. Bukan masih mencintainya, Bima hanya merasa sangat bersyukur dipertemukan dengan Gita dan bisa menjadi adik laki-laki yang begitu ia kasihi.
Gita terlahir sebagai anak keluarga berada. Ayahnya menjadi direktur di rumah sakit, walaupun bukan rumah sakit terbesar, tapi namanya sudah cukup dikenal. Sedangkan ibunya adalah dokter spesialis jantung di rumah sakit besar di Ibu Kota. Selain itu, bagunan yang kini dikelola dirinya adalah tempat yang didirikan oleh ayah dan ibunya untuk anak-anak yang sedang berjuang mencari keluarga sejati. Rumah Pelangi, tempat yang mempertemukan Gita dengan Bima, tempat yang membuat hati Gita melembut, dan memaafkan dunia.
Saat Gita di bangku sekolah menengah atas, ibu dan kakak laki-lakinya meninggal karena kecelakaan. Kehilangan yang begitu tiba-tiba membuat Gita menyalahkan orang-orang di sekitarnya dan sangat membenci dunia. Hampir sebulan dirinya tidak berbicara dengan ayahnya. Dia menganggap ayahnya menjadi orang yang bertanggung jawab atas kepergian ibu dan kakaknya. Dan karena itu, keputusan kepindahan Gita akhirnya diambil.
Ayahnya semakin menyibukkan diri dengan pekerjaan dan mengirim Gita ke neneknya yang waktu itu menjadi kepala di Rumah Pelangi. Membiarkan Gita belajar apa itu menerima kehilangan dan bagaimana rasa bersyukur. Dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal di Rumah Pelangi, Gita masih memiliki begitu banyak hal-hal yang perlu disyukuri dan tidak pantas membenci seluruh isi dunia.
“Kak, inget nggak? Waktu pertama kita ketemu di sini?” Bima berusaha mengalihkan pembicaraan lalu menyeruput kembali coklat yang mulai dingin.