Di luar pekerjaan utamaku sebagai ibu rumah tangga, aku punya kesibukan lain, yaitu bekerja di sebuah bimbingan belajar milik teman SMAku, namanya Prima. Aku hanya bekerja selama kurang lebih dua jam setiap harinya, pekerjaannya pun santai, hanya mengurus administrasi dan keuangan yang tak seberapa. Jadi aku lebih banyak waktu kosong di sana. Prima tak masalah jika aku sibuk dengan hal lain, selama pekerjaan utamaku di situ tidak terbengkalai.
Selain aku, ada satu orang lagi di situ, namanya Angga. Angga dulu adalah teman satu kantor Mas Hari, sebelum akhirnya Mas Hari memutuskan keluar dan membangun usaha sendiri. Tak berapa lama setelah Mas Hari keluar, Angga ikut keluar, dan dia bekerja di tempatku dulu bekerja. Aku dulu adalah seorang pegawai di sebuah sekolah, dan Angga mengisi posisiku yang kosong sepeninggalanku.
Selain mempunyai tempat bimbingan belajar, Prima juga adalah seorang guru, dan dia adalah guru di sekolah tempatku pernah bekerja. Jadi dari pagi sampai siang ia bekerja di sekolah, sore sampai malam ia mengajar di tempat les. Boleh dibilang Prima itu sibuknya macam presiden, sampai-sampai ia tak punya waktu untuk dirinya sendiri. Sampai detik ini dia masih jomblo.
Ketika Prima mengatakan kalau ia butuh pegawai lagi, aku mengajak Angga untuk bekerja di sini. Jadilah kami bertiga sekarang akrab seperti trio kwek-kwek. Angga dan Prima bertemu setiap hari, pagi sampai malam. Pagi di sekolah, sore di tempat les. Mereka selalu kemana-mana berdua, sampai aku tidak heran jika suatu hari mereka jadi bahan pergunjingan. Karena Angga itu sudah menikah dan punya tiga anak.
Apa yang aku takutkan pun terjadi.
"Sia, lo tau gak sih, gue dipindah ke unit sekolah lain." Angga langsung menggerutu begitu aku datang. Angga lumayan lama hidup di Jakarta, jadi dia terbiasa mengobrol dengan sebutan lo gue. Aku dan Prima jadi ikut berbahasa seperti itu setiap kali bercakap-cakap dengan Angga.
"Kenapa?" tanyaku, sembari melepas tas dan mengambil tempat duduk di sebelah Angga.
"Katanya sih, biar ganti suasana."
Aku mengerenyit. Alasan apa itu?
"Kita, tuh, jadi bahan gunjingan satu sekolah." tiba-tiba Prima muncul dari salah satu ruang kelas dan ikut bergabung bersama kami.
"Kenapa?" tanyaku lagi, walaupun aku sudah bisa menduga penyebabnya.
"Ya, gara-gara katanya kita sering berduaan. Padahal kita gak sering juga, kan! Emang gue sering ke ruangannya dia, tapi ga cuma berduaan doang di sana!" nada bicara Prima meningkat seiring dengan tumpahan kata-katanya, "Udah gitu, gue dibilang sering pergi keluar berduaan sama Angga! Kita cuma makan siang, Si! Lagian kita rame-rame loh!"
"Jangan-jangan alasan lo dipindah supaya lo pisah sama Prima, ya?" aku mengendikkan dagu pada Angga. Tembakan pertanyaanku tepat sasaran, raut wajah Angga langsung berubah.
"Iya, sih. Kayaknya gitu. Tapi kenapa mereka gak bilang aja alasan sebenernya?! Pake alasan gak mutu kayak gitu."
Aku terdiam. Tak bisa berkomentar apapun. Sebenarnya dalam hati aku ingin mengatakan bahwa aku pun lama-lama tak nyaman melihat kedekatan mereka. Aku merasa Prima terlalu bergantung pada Angga, seolah tak ada manusia lain di dunia ini. Atau seakan-akan Prima tak bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. Padahal setahuku, Prima adalah wanita yang sangat mandiri.
*