Ini adalah cerita dua orang wanita, yang tidak saling mengenal. Mereka tinggal di kota yang sama, mungkin pernah berpapasan di suatu tempat, tetapi mereka tidak menyadarinya. Yang jelas mereka berkutat pada satu pertanyaan sederhana yang mengerikan: Kapan kawin?
*
Via merapikan buku pelajaran yang berserakan di atas meja. Tugas mengajarnya telah usai, dan kini ia harus bergegas pindah ke ruangan lain untuk mengajar kelas sembilan. Sebenarnya masih ada waktu sekitar lima belas menit, waktu istirahat siang, tetapi karena Via bangun kesiangan, ia belum sempat memfotokopi latihan soal untuk anak-anak. Via memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam tas kerjanya. Dia sudah sampai di pintu kelas, ketika seseorang datang, mereka nyaris bertabrakan.
"Eh, Mas." Sapa Via, ramah. Yang disapa balas tersenyum malu-malu. "Udah makan?" Tanya Dimas, dan Via menggeleng, "Belum, nih."
Dimas beringsut mendekat, satu tangannya dimasukkan ke dalam saku, "Makan di kantin, yuk."
Via menggeleng, "Maaf gak bisa, Mas. Aku mesti fotokopi soal buat anak-anak. Sebentar lagi kan mereka ujian."
Dimas sepertinya tidak bisa menerima penolakan, ia meraih tangan Via yang bebas dan setengah menggeretnya, "Udah ayok! Fotokopiannya kan nanti bisa ditinggal. Ditaruh aja di tempat fotokopian, terus kita makan! Aku yang traktir!"
Via hanya berdecak. Kalau sudah memaksa begini, Dimas susah dihentikan. Via hanya bisa pasrah saat Dimas menuntunnya melalui lorong-lorong sekolah. Via lebih dari sadar, bahwa berpasang-pasang mata menghujam mereka berdua. Beberapa diantaranya dengan perasaan tidak suka. Dengan halus, Via melepaskan cengkeraman tangan Dimas.
"Aku bisa jalan sendiri." Ucap Via, dan Dimas hanya mencebik, "Oke."
*
"Lihat tuh, Rin, temen kamu udah pada nikah! Kamu kapan?? Mau jadi perawan tua?? Nanti kalau gak laku-laku gimana? Buruan nikah nunggu apa, sih??!"
Omelan tantenya memang tak pernah bisa Rina bendung, dan ocehannya selalu sama. Kapan nikah? Yah... Rina tidak bisa menjawab itu. Jodoh saja belum ada. Mau nikah sama siapa? Setan? Bayangannya sendiri? Atau sama cardboard boyband kpop, seperti yang dilakukan salah satu fans fanatik di luar negeri sana? Bisa-bisa Rina malah dibilang gila. Hari ini Rina kedatangan tamu, sahabatnya sedari SMA, Tania, yang datang bersama dengan suaminya. Mereka sengaja bertemu di kafe milik adik Rina, dan kebetulan tante Mika, adik dari mama Rina, ada di sini. Bukan sekali dua kali tante Mika mengeluhkan soal Rina yang cantik tapi tidak laku-laku. Rina sudah capek menimpali keluhan tante Mika, atau pertanyaan dari siapapun itu soal kenapa dirinya sampai hari ini masih sendiri. Sebentar lagi usianya tiga puluh. Kalau di Indonesia, itu sudah masuk kategori 'perawan tua tahap awal'. Rina tidak tahu siapa yang mulai mengklasifikasi wanita seperti itu. Mungkin itu akal-akalan biro jodoh online supaya jasa mereka laris manis. Dengan menakut-nakuti orang soal status.
Sebenarnya apa itu menikah? Maknanya apa? Kalau hanya sekadar supaya tidak dibilang 'nggak laku', berarti menikah itu sama saja seperti 'jualan'. Kalau sudah menikah, berarti 'jualannya laku'.
"Tantemu itu gak ada bahasan lain apa??" Tania, yang punya sifat blak-blakan, melirik Tante Mika dengan tatapan membunuh, "Tiap kali yang aku denger omongannya begitu terus!"
"Udah, Tania. Tanteku emang gitu! Paling juga cuma basa-basi." Rina mencoba untuk tersenyum, walau hatinya tidak begitu.
"Basa-basi apanya, Rin! Masa omongan gak enak gitu kamu bilang basa-basi!" Bantah Tania, nadanya terdengar gemas.
"Udah, sih. Kamu apa kabarnya? Niko juga, sehat semua?"
Tania dan Niko mengangguk, walau pandangannya agak lesu. Sebagai sahabat yang sudah cukup lama menghabiskan waktu bersama, ia langsung tahu kalau ada yang salah.