Sore ini di tempat kerjaku, obrolan antara kami bertiga masih seputar masalah Prima dan Angga, soal hubungan mereka, dan hari ini pembahasannya semakin menjadi-jadi. Aku menghampiri Angga yang duduk di ruang tengah, yang merupakan ruang makan untuk kantin kecil di tempat les. Aku bisa mengatakan kalau suasana hati Angga sedang buruk, hanya dari ekspresi wajahnya.
"Yayasan, tuh, ya. Keterlaluan banget, Si." amarah Angga langsung pecah begitu melihatku.
"Ada apa lagi?" aku menimpali, berusaha terdengar netral. Padahal jantungku berdegup kencang, karena hari ini aku sudah membulatkan tekad untuk mengungkapkan sudut pandangku mengenai hubungan mereka berdua.
"Gue baru dapet info, ternyata bener dugaan lo kemarin. Gue dipindah karena gue deket sama Prima."
Aku membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Angga belum selesai berbicara. Dia hanya berhenti sejenak untuk menata kalimat.
"Mereka bilang mereka takut ada apa-apa antara gue sama Prima. Padahal lo tau sendiri, kan, kita gak ada apa-apa! Kenapa mereka gak tanya langsung ke gue, sih!"
"Lo selama ini denger selentingan gosip soal lo sama Prima gak?"
"Iya gue denger. Gak denger, pun, gue udah bisa nebak kalau gue sama Prima jadi bahan gunjingan satu yayasan. Tapi mau gimana lagi, Si! Kita emang ditunjuk sekolah buat garap proyek bareng! Mau gak mau kita jadi sering sama-sama. Gue jadi ngerasa dijebak!"
Tak berapa lama, Prima datang dan ikut ambil bagian dalam percakapan ini. Kebetulan kelas hari ini hanya sedikit, jadi anak-anak yang les telah pulang dan kami bisa berbicara dengan leluasa. Suasana sore menjelang malam cukup cerah dan hangat, bukan iklim yang sesuai untuk berbicara hal menyesakkan seperti sekarang.
"Emang masalahnya ada di gue, sih." ucapan Prima membuatku bingung.
"Maksudnya?"
"Ya, selalu aja kaya gini. Dimanapun gue selalu jadi omongan. Lo tau, kan, Si? Gue pernah cerita dulu gue digosipin deket sama orang penting di tempat kerja gue yang dulu? Terus waktu gue gagal nikah, omongan satu kota ini kayak gimana? Kemanapun gue pergi, gue selalu jadi omongan orang."
"Ya gak gitu juga, kali. Menurutku masalahnya karena kamu tuh perempuan, udah hampir kepala tiga tapi masih single. Semua yang posisinya kayak kamu bakal jadi omongan. Apalagi kalau diumur kaya kita gini, kita main sama laki-laki."
"Emang salah ya temenan sama laki-laki? Gak boleh gitu?"
mendengar pertanyaan satir dari Prima, aku jadi teringat sesuatu. Hal itu melintas di kepalaku seperti sirene yang meraung.
"Eh, tapi, Angga. Dulu waktu aku masih kerja di sekolahan, kita juga sering pergi kemana-mana berdua, kan? Lo juga dulu sering ke ruanganku. Tapi, kok, kita gak jadi omongan?"
"Siapa bilang??!!" Angga dan Prima bersorak hampir bersamaan, membuatku melongo.