Demi mendapatkan penghasilan dan harapan berada di lingkungan kerja yang lebih baik, Via pindah ke tempat kerja yang baru. Sebuah sekolah yang tidak jauh dari sekolah lama tempatnya mengajar. Tetapi ia merasa lebih familiar di sini, karena sekolah ini adalah almamaternya. Kedatangan Via di hari pertama disambut dengan begitu antusias oleh para kolega. Kepala sekolah langsung memberinya tugas-tugas penting, sembari mengatakan bahwa ia senang mempunyai guru yang kompeten seperti Via. Hari-hari berlalu tanpa ada sesuatu yang berarti, sampai selentingan itu datang lagi. Kali ini karena ia sering bertegur sapa dengan pesuruh sekolah yang masih single. Di suatu siang setelah Via selesai mengajar dan menuju ke ruang guru, rekan kerjanya yang bernama Sumi menghampiri Via sambil cengar-cengir.
"Vi, kamu dicariin mas Yoyon tuh!"
"Ada apa?"
Yang ditanya hanya cekikikan sambil berlalu. Via yang tidak mengerti maksud Sumi, berjalan menuju ke gedung belakang sekolah untuk mencari Mas Yoyon. Didapatinya Mas Yoyon sedang duduk bersantai sembari mengibas-ngibaskan lap meja ke wajahnya, sembari mendengarkan lagu dangdut.
"Mas Yoyon."
Mas Yoyon terlonjak mendengar suara Via. Dengan cepat ia berdiri tegap, lalu memasang wajah bingung.
"Ada apa, Bu Via?" Tanyanya, dengan sedikit membungkukkan badan.
"Loh, kata Bu Sumi, Mas Yoyon cari saya?"
Mas Yoyon semakin kebingungan, lap meja yang tadi ia gunakan untuk meredakan hawa panas, kini terkulai lemas di salah satu pundaknya.
"Nggak, kok, Bu."
"Lah, gimana, sih." Via pun meminta maaf karena telah mengganggu waktu Mas Yoyon, dan ia pamit untuk kembali ke ruang guru. Di sana Via mendapati Sumi tengah cekikikan dengan beberapa guru wanita. Tawa Sumi semakin menjadi ketika melihat kedatangan Via.
"Beneran disamperin Mas Yoyonnya!" lalu tawa mereka meledak dalam satu seruan yang mengganggu. Via mendekati Sumi, menanyakan apa maksud Sumi mengatakan hal seperti tadi.
"Bu Sumi kenapa bohong? Mas Yoyon gak nyariin saya, kok!"
"Kamu sering-sering aja ketemuan sama si Yoyon. Sapa tahu jodoh, ya, kan?!"
Lalu Sumi kembali tertawa, dan Via memilih untuk berhenti. Tak ada gunanya memarahi orang seperti ini. Mereka tidak tahu apa yang dianggap lelucon itu betul-betul mengganggu untuk Via. Mereka tak tahu karena tidak pernah hidup sebagai Via. Seorang anak tunggal yang memikul beban dari orang tua untuk memberikan keturunan demi keberlangsungan eksistensi keluarga. Via memilih untuk kembali ke mejanya. Ia menyambar earphone dan menancapkannya ke ponsel. Via membuka aplikasi pemutar musik daring, dan memilih sebuah lagu yang baru-baru ini ia temukan. Lagu dengan lirik yang menggambarkan hidupnya. Via merasa lagu ini diciptakan khusus untuknya. Walaupun nama grupnya aneh, Netijen Oplen, tapi lagu mereka lumayan bagus dan liriknya juga tidak terkesan murahan. Via menutup telinganya dari kebisingan dunia luar yang memuakkan, dan mulai mengisi otaknya dengan nada.
*
Usiaku tiga puluh dan ku masih saja sendiri