"Pa, aku jadi mikir."
Mas Hari menanggapi awal percakapan dengan tawa khasnya, suara 'haha' pendek dengan sedikit bumbu mengejek.
"Mikir apalagi? Wong, kok, senengane mikir. Langsung action gitu, loh!"
aku sudah terbiasa dengan kalimat Mas Hari yang itu, jadi aku tidak menanggapinya. Aku melanjutkan perkataanku.
"Sebenernya, tuh, kita bisa dapet banyak dari handphone, ya."
"Dapet duit? Iya, lah."
Mas Hari, mentang-mentang banyak tanggungan, orientasi pembicaraannya selalu mengarah ke uang. Mas Hari ini tipikal orang yang tidak mau membuang waktunya melakukan sesuatu yang tidak menghasilkan. Bagus memang, tapi kadang jadi susah juga ajak dia liburan, walau sekadar pergi ke tempat wisata yang masih satu kota. Alasannya ada saja. Intinya dia sudah punya jadwal setiap harinya mau apa saja, dan semua berhubungan dengan usahanya. Untung Mas Hari akhir-akhir ini mulai sadar, kalau rekreasi itu juga punya peran penting dalam menjaga keharmonisan rumah tangga. Bukan melulu soal uang.
"Bukan duit! Duit mulu!" bantahku, "Itu, sih, iya. Cuma bukan itu maksudku. Dari handphone kita bisa belajar macem-macem, loh. Mau kursus bahasa ada, belajar masak bisa. Aku nulis juga sekarang gak harus pake laptop. Macem-macem, lah!"
"Iya. Terus kenapa?"
"Tapi kenapa, banyak orang yang kayaknya gak manfaatin itu, ya? Malah sibuk stalking di medsos, atau liat video artis hidup wah, sambil berharap hidup mereka kayak gitu juga! Kuotanya, kan, bisa dipakai buat yang lain! Yang bener-bener bermanfaat!"
"Lah, kamu sendiri, gimana? Udah kayak gitu belum?"
aku terdiam. Sejenak aku berpikir apa saja yang selama ini aku lakukan saat memegang ponsel? Aku bukan orang yang begitu suka menggunakan media sosial, dan tidak suka juga melihat video-video seperti yang aku sebutkan tadi. Tapi apakah, yang kulakukan dengan ponselku itu sudah cukup produktif?
"Kamu daripada ngurusin orang, lihat itu kamu sendiri gimana?" Luna, yang suka ikut campur percakapan orang bahkan saat tidak diminta, menguatkan pertanyaan Mas Hari padaku.
"Kalau kamu sendiri bisa manfaatin waktumu dengan baik, gak ada waktu buat ngomongin orang lain, loh."
"Iya, sih...."
*
Sudah lama aku tidak menghubungi Herma. Pikiranku soal ponsel tadi masih ingin kubagikan dengan yang lain, dan Herma adalah teman yang asyik untuk diajak diskusi hal seperti ini. Aku menghubungi Herma melalui aplikasi chating, beberapa saat setelah mengantar kedua anakku untuk tidur siang. Pertama-tama aku menanyakan kabar Herma, lalu aku mulai membagikan buah pikiranku padanya. Herma memberi tanggapan sesuai ekspektasiku. Ia setuju denganku, dan pembicaraan kami, seperti biasanya, mulai melantur kemana-mana. Sampai akhirnya Herma mengirimiku sebuah tangkapan layar dari salah satu media sosial yang membahas tentang privilege.
[Menurutmu gimana? Menurutku ini ada benernya, deh.]
Begitu tulisan Herma yang menyertai kiriman gambar itu. Aku membaca beberapa kalimat yang tertulis di dalam gambar. Isinya membahas soal bagaimana orang-orang sukses di dunia ini punya privilege yang jauh lebih menakjubkan daripada manusia pada umumnya, dan mereka tidak bisa dijadikan panutan atau acuan untuk kita para rakyat jelata. Contohnya saja pendiri Facebook. Orang selalu mengatakan bahwa: Pendiri facebook yang kuliahnya gak selese aja bisa sukses, masa kamu nggak?