Aku ingin lebih langsing.
Aku ingin wajahku lebih bersih dan mulus.
Aku ingin menjadi penulis sukses.
"Kamu udah ngapain aja?"
Aku hanya membayangkannya sambil tidur.
"Kamu sebenernya ada di pihak yang mana? Kamu suka banget nyudutin dan nyalahin aku, kadang kasih motivasi tapi nanggung."
"Aku bicara sesuai arahan dari pikiranmu. Udah tau kalau kamu gak ada kerjaan gini, sel-sel kelabu otakmu itu berkembang pesat ke arah buruk. Aku heran, kok, kamu malah milih yang kayak gitu."
Aku berguling dari kasur, mencoba 'mengguncang' yang Luna katakan sebagai sel kelabu di dalam kepalaku. Siang ini rumahku begitu sepi. Kedua anakku tadi pagi-pagi sudah dibawa pergi oleh mamaku, sedangkan Mas Hari tengah mengantar dagangan ke kota sebelah. Dari sekian banyak hal yang bisa kulakukan, aku memilih untuk tidur.
Padahal cita-citaku untuk diri sendiri ada berlapis-lapis, tapi aksiku adalah berdiam diri sembari membayangkan semua hal itu terjadi.
"Ya udah, deh. Kalau kamu mulai, paling juga gak sampai seminggu terus begini lagi." sindiran Luna tak pelak membuatku terganggu. Ingin kutampik perkataannya, tapi kuurungkan niatan itu. Luna yang tahu bahwa aku tak bisa menyanggah, mulai merasa di atas angin dan kembali berbicara.
"Tulisanmu, apa ada yang udah selesai? Ganti ganti terus! Bisa konsisten atau nggak, sih?"
"Kamu kenapa suka nyalahin aku?! Memang aku ini salah apa?!"
"Kamu sebenernya niat apa nggak buat hidup?!! Aku, tuh, capek lihat kamu, Si! Apa ada kemajuan dalam hidupmu? Padahal banyak yang bisa kamu lakuin?!"
"Memang aku bisa apa?!"
"Mati aja sana!!"
Bentakan Luna membungkamku. Bahkan sekadar bernapas dengan baik pun rasanya aku tak sanggup.
Aku merasa kembali ke titik nol bersama dengan kata-kata Luna barusan.
Mati saja.
Mati saja.
Aku memang pernah berpikir untuk mati saja. Karena aku lelah menjadi diriku, yang tidak pernah mau berusaha namun meminta agar semua yang aku inginkan datang padaku tanpa kendala.