Aku duduk di deretan kursi besi yang dingin, bersama dengan beberapa orang asing. Semua sama sepertiku, memasang wajah yang sama. Hampa. Malu. Tak berdaya. Ramainya rumah sakit siang ini menambah tekanan pada batinku. Dari sekian banyak yang berlalu lalang, melintas di depan loket bertuliskan TEMPAT PENGAMBILAN OBAT berwarna merah itu, apakah ada yang mengenaliku? Aku tak mau mencari tahu, kutarik lebih dalam tudung jaket yang sedari tadi kukenakan, berusaha menutupi setidaknya separuh dari wajahku.
Sebentar lagi aku akan menikah, dan aku memutuskan bahwa Mas Hari lah yang akan menjadi satu-satunya orang yang tahu tentangku dan Luna. Awalnya dia tak mengerti, dia pikir aku hanya bercanda. Sampai akhirnya, beberapa kali dia memergokiku berbicara sendiri, kadang menangis atau marah. Kadang aku hanya terdiam seperti tak bernyawa ketika Mas Hari mengajakku bicara. Mas Hari pun memutuskan untuk membawaku ke psikiater.
Depresi Psikosis.
Istilah itu baru pertama aku dengar, keluar dari mulut seorang psikiater wanita yang mungkin seusia mamaku. Ia mengajakku berbicara, berjam-jam lamanya, mendengarkan apa saja yang ingin aku katakan, dan reaksinya nyaris tanpa ekspresi. Jujur saja, hal itu malah membuatku tidak nyaman. Aku terbiasa disuguhi sanggahan, penolakan, ejekan, dan penghakiman.
"Kenapa akhirnya kamu memutuskan untuk datang ke sini? Apa motivasimu?"
"Saya mau menikah. Mungkin nggak bagus kalau saya diam saja soal ini."
Psikiater bernama Dokter Hana ini mengangguk beberapa kali, perlahan, terlihat santai namun tetap profesional.
"Itu keputusan yang bagus. Saya tahu, awalnya pasti kamu merasa tidak nyaman seperti ini. Tapi itu hal yang wajar. Seiring dengan berjalannya waktu kita akan bersama-sama menguraikan satu persatu permasalahan yang kamu alami."
Aku meremas ujung kemejaku. Pikiranku sesaat melayang, membayangkan Mas Hari yang menungguku di luar ruang praktek. Kira-kira apa yang ada di pikiran Mas Hari sekarang? Apakah dia menyesal sudah memutuskan untuk menikah denganku? Bagaimana jika setelah ini ia membatalkan pernikahan kami? Aku bakal jadi apa?
"Mbak Sia." suara Dokter Hana mengembalikanku ke dalam diriku. Dokter Hana hanya tersenyum melihatku yang terkejut dengan panggilannya.
"Saya akan meresepkan beberapa obat supaya Mbak Sia merasa lebih baik." Dokter Hana kemudian menuliskan sesuatu, dan memberikannya padaku, "Sampai ketemu minggu depan."
Aku berjalan keluar dengan secarik kertas putih di tangan. Begitu aku membuka pintu, mataku langsung bersirobok dengan Mas Hari. Sontak tubuhku menegang dan aku segera membuang muka. Aku mengambil tempat di sebelah Mas Hari dan menyerahkan kertas dari Dokter Hana dengan enggan.
"Sini, biar aku yang ngurus." hanya itu yang Mas Hari katakan, setelahnya kami tidak berbicara apa-apa lagi sampai kami mengantre untuk mengambil obat.
Mas Hari datang kepadaku dengan kantong plastik berwarna putih di tangannya. Tampak huruf-huruf berwarna biru tercetak di permukaan, menuliskan nama rumah sakit beserta alamat dan nomor telepon. Dia menarik tudung jaketku hingga terjatuh ke pundak.
"Kenapa?"
"Gak apa-apa."
"Ini obatnya. Katanya tadi ada yang antidepresan sama antipsikotik. Aku udah dibilangin aturan minumnya, tapi nanti kamu cek lagi ya."
Aku meraih kantong plastik itu dengan kasar, lalu bibirku bergerak sendiri. Menyuarakan apa yang sedari tadi menggangguku.
"Masih mau nikah sama aku?"