Luna pertama kali muncul ketika aku tengah menangis sendiri di taman dekat rumah. Aku sedang duduk di ayunan berwarna merah yang catnya sudah terkelupas dan besi gantungannya telah berkarat. Kepalaku tersandar lemah di satu sisi, kubiarkan wajahku basah oleh keringat dan air mata. Sebentar lagi aku menjalani ujian kelulusan tingkat SMP, tetapi yang kudapat di rumah bukan dukungan dari papa atau mamaku.
"Kamu, tuh, g*blok banget jadi anak! Nyusahin aja!"
teriakan mamaku masih terngiang jelas di telinga. Padahal aku hanya meminta untuk ditemani belajar supaya lebih semangat menghadapi ujian, tapi mamaku malah memberi balasan seperti itu. Kata-kata menyakitkan itu masih terus mengikuti, menggema dan menyayat hati. Apalah dayaku yang hanya seorang anak, dengan didikan bahwa orang tua harus dihormati, terlepas dari apapun yang sudah mereka lakukan. Tak boleh balik menjawab, membantah, mengemukakan pendapat. Yang bisa kulakukan hanya menangis, dan berlari pergi.
"Kamu kenapa?"
Aku tersentak mendengar sebuah suara di sampingku. Sepengetahuanku sedari tadi tidak ada orang yang datang kemari, atau aku yang tidak melihatnya? Seorang perempuan, umurnya sama denganku. Dia berkulit putih, berambut hitam, wajahnya mungil dan cantik. Aku mengenalnya begitu saja tanpa perlu bertanya. Namanya Luna.
"Kamu pasti sedih karena setiap hari jadi pelampiasan mamamu, ya? Padahal papamu yang salah, tapi kenapa kamu yang kena marah? Kalau aku jadi kamu, aku pasti marah balik! Aku nggak akan terima diperlakukan kayak gitu!"
Luna berbicara begitu semangat sampai-sampai ayunan tempatnya duduk berguncang. Kedua mataku melebar takjub. Memang benar itulah yang aku rasakan selama ini. Hanya saja aku tak bisa mengungkapkannya.
"Mama bilang gak boleh berani sama orang tua. Nanti dosa. Kualat." jawabku dengan enggan.
Luna lalu beranjak dari tempatnya, dan ia berdiri di hadapanku.
"Terus, kenapa kamu nangis sendirian? Kamu gak punya temen?"
Aku menggeleng pelan, "Aku malu sama temenku. Mama juga gak suka kalau aku main sama temen, atau ada temen dateng ke rumah."
"Ya udah, gak usah dipikir. Yuk, main sama aku. Mulai sekarang aku bakal jadi temenmu."
Jadilah aku menghabiskan sisa hari itu untuk bermain bersama Luna.
*
"Ma, papa, kok, belum pulang? Udah malem."
"Papa lembur."
"Masa lembur tiap hari?"
"Kamu, tuh, cerewet banget! Banyak b*cot! Tanya sendiri sama papamu sana kenapa tiap hari gak pernah betah di rumah!"
Lalu mamaku masuk ke dalam kamar dan membanting pintu. Padahal tadinya aku cukup senang bisa menghabiskan waktu bersama mama di ruang keluarga. Duduk berdua di sofa usang kami sembari menonton televisi, yang tengah menayangkan acara liburan keluarga. Ada ayah, ibu, dan kedua anaknya. Semuanya tersenyum bahagia, bermain air di pantai berpasir putih, berlatar belakang laut biru jernih.
"Kamu pasti pingin main ke sana juga sama keluargamu."
Luna, duduk di sampingku, di tempat mamaku tadi berada. Aku sudah tak lagi terkejut akan keberadaannya. Tak tahu kenapa sedari tadi aku seperti menunggu kehadirannya.
"Iya. Tapi papa gak pernah di rumah. Mbak Rea juga sekarang sibuk kuliah di luar kota."