Nama Pena

Sitha Trivina
Chapter #1

Aku Pasti Bisa

"Menulis itu, kan, hobimu, harusnya kalau nulis jadi seneng, bukan stres!"

Mas Hari, suamiku, mengulang lagi kata-kata yang sama dalam beberapa hari terakhir. Setiap kali ia melihatku seperti sekarang, hanya diam tercenung menatap layar ponsel, lalu bergumam sendiri tentang kenapa aku sulit sekali menulis dan merasa stres setiap kali mau memulai. Aku cuma bisa melirik dia, tak kubantah atau kuiyakan perkataannya.

"Kaya aku ini, loh!" Mas Hari melanjutkan ocehannya, sembari menggoyang-goyangkan joran pancing yang entah sedang ia apakan lagi. Diberi dempul supaya sambungannya halus, atau ditempeli stiker agar kelihatan gaya, aku tak begitu paham yang mana. Yang jelas, Mas Hari lebih sering mengelus dan menenteng joran pancing kemana-mana ketimbang istrinya ini. "Aku itu hobinya mancing! Kalau mau berangkat mancing, waktu lagi mancing, selesai mancing, bahagia! Apalagi kalau menang!"

Aku cuma bisa mendengus. Belum lama kami bisa bicara santai soal hobi memancingnya. Sebelumnya, ada pergulatan panjang, drama tangisan, pertengkaran, dan niatan buruk dariku untuk diam-diam mematahkan koleksi pancing Mas Hari saat ia tak di rumah. Muak rasanya melihat Mas Hari hampir setiap malam pergi meninggalkanku dan kedua anak kami, hanya untuk memancing. Tetapi, semenjak aku menekuni kembali hobi menulis, sesuatu yang sudah lama aku tinggalkan sejak bekerja dan mempunyai anak, tak masalah Mas Hari pergi melakukan hobinya. Malahan itu membuatku mempunyai me time, dan aku jadi bisa menulis dengan leluasa.

"Iya... Emang hobi. Tapi, kan, ga segampang itu juga tinggal tulis-tulis! Emang ga pake mikir, pake riset segala macem! Belum lagi nulis diksi, karakternya mau kaya gimana, setting tempatnya dimana. Banyak!"

"Halah! Kamu tu dari dulu kaya gitu, kakehen mikir!" Ejek Mas Hari, dengan ekspresi khasnya yang menyebalkan. Cuping hidung Mas Hari yang besar dengan lubang yang lebar itu kembang kempis, kebiasaan yang muncul setiap kali ia mencemoohku. Lagi-lagi aku tak kuasa untuk menyanggahnya, karena memang kalimat yang keluar dari mulutnya itu, walau mengganggu, tetap ada benarnya. Aku mengakui kalau aku memang terlalu banyak berpikir, banyak pertimbangan ini itu, dan terlalu banyak pertanyaan 'bagaimana kalau?'. Tapi berpikir negatif itu memang keahlianku, tentu saja bukan satu kemampuan yang aku banggakan. Ini semua terbentuk lebih karena diriku yang selama ini selalu memandang rendah diri sendiri. Ternyata rendah hati dan rendah diri itu berbeda. Sepertinya niatan awalku adalah rendah hati, tapi jadinya malah rendah diri.

"Jadi orang itu jangan kebanyakan mikir. Kesempatan itu, mungkin dateng untuk kedua kali, tapi kalau sampe tiga kali ya gak mungkin." Suara Mas Hari kini sudah tidak semenggelegar tadi, tapi ujung-ujung nadanya tetap tajam. Ia tengah berkonsentrasi melakukan sesuatu yang sepertinya cukup sulit, masih berkutat dengan joran pancingnya tentu saja. Aku kembali pada ponselku. Layarnya masih menunjukkan gambar yang sama, laman menulis dari sebuah platform daring, yang tengah mengadakan kompetisi.

Sebenarnya sudah ada sebuah cerita yang ingin sekali aku tulis, dan sepertinya ini momen yang tepat. Tapi tidak tahu kenapa ada sebuah keraguan dan keengganan setiap kali menuliskannya. Padahal dalam angan-anganku, ceritaku ini bakal luar biasa. Aku sudah tahu siapa saja karakternya, latar belakang mereka, konflik yang mereka hadapi, dan akhir dari kisah mereka. Setiap membayangkan itu, tanganku tak sabar untuk mulai mengetik. Tetapi, saat ujung-ujung jemariku beradu dengan keyboard virtual di ponsel, semangatku menjadi surut, dan tak butuh waktu lama apinya padam.

Apa yang salah? Apa aku kurang motivasi? Apa betul seperti kata suamiku, bahwa aku ini terlalu banyak berpikir?

"Kamu itu, suka banget mikir aneh-aneh yang gak penting. Gak capek apa?" Pertanyaan yang datang dari suara yang familiar itu menggelitik telinga dan otakku. Luna berdecak kesal, bisa kudengar dia bahkan meludahkan nada sebal yang terdengar seperti 'cih!'. Luna paling benci pada manusia berpikiran kusut sepertiku. Dia yang paling tahu bahwa aku pun sebenarnya tak sudi berkutat dengan kerumitan logika yang kuciptakan sendiri.

Lihat selengkapnya