"Anakku gak tidur-tidur." Ini sudah pukul sebelas malam, dan kedua anakku belum menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Mereka malah asyik bermain kuda-kudaan dari tumpukan bantal. Keluhanku hanya ditanggapi dingin oleh Luna.
"Bilang aja kamu males nulis, pake alasan anak belum tidur segala."
"Lah, emang kalau anakku belum tidur, aku gak bisa nulis! Berisik!"
Aku mengomel, mataku sibuk mengawasi permainan para bocah itu. Sejujurnya yang tengah mereka lakukan itu cukup mengkhawatirkan. Seorang anak berumur lima tahun, bermain dengan adiknya yang masih berumur satu setengah tahun. Aku takut si kecil terkilir atau kepalanya terbentur tembok. Tapi mereka berdua itu kalau sudah bermain seperti itu, tidak bisa dihentikan.
"Kamu bisa nonton yutub, baca-baca berita gak penting di internet, tapi gak bisa nulis? Bullsh*t." Ledekan Luna yang tak kunjung berhenti mau tak mau membuatku jengah.
"Iya, iya!" Aku membuka laman menulis di ponselku. Terdiam sejenak untuk menyusun cerita yang harus kuteruskan. Tentang Raka dan Diandra.
"Sekarang nulis apa?" Tanyaku. Tak ada yang menjawab.
Yah, tentu saja. Bagaimanapun juga ini ceritaku, hanya aku yang tahu.
Aku pun mulai menceritakan soal Raka.
*
Raka suka setiap kali memakai setelan jas, karena membuatnya tampak lebih gagah dan tampan. Tapi, Raka tak pernah suka alasan dibalik kewajibannya mengenakan pakaian itu. Acara keluarga. Sesuatu yang menyiksa Raka lahir dan batin. Berdiri berjam-jam di hadapan para tamu, mengumbar senyum dan obrolan yang mereka bilang 'berkelas'. Lalu, yang paling mengenaskan dari semua itu adalah, tak ada satu orang pun di sana yang menganggap Raka sebagai keluarga. Sebelum Raka tahu kenyataannya, ia tak pernah menyadarinya. Tetapi sekarang, setelah matanya terbuka terhadap realita, semua pandangan orang di sekelilingnya dirasakan Raka sebagai tatapan sinis, mencemooh, dan kasihan.
"Jangan ngelamun." Suara ibu tirinya yang tajam menusuk pelan di telinga Raka. Raka masih tidak mengerti bagaimana ibu tirinya itu bisa berbicara dengan jelas sembari tetap mempertahankan senyuman kepada para tamu. Raka mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk kembali fokus pada sekitar. Dia berdiri di jajaran keluarga, di sebelah ibu tirinya, yang bernama Yenny, yang senang mengenakan gaun hitam gemerlap di setiap kesempatan.
"Sorry, Mami."
Raka sengaja memanggilnya begitu, karena Raka suka melihat reaksi mami Yenny. Sontak maminya itu langsung melotot ke arah Raka, tetiba dia lupa untuk menjaga wajah ramah dan citra penyayang anak tiri di depan para kerabat.
"Sudah dibilangin jangan panggil mami! Memangnya mama ini mucikari!"
Mami Yenny melayangkan tangan ke atas, tapi Raka tidak gentar. Raka tahu maminya itu tidak mungkin mendaratkan tamparan betulan di acara penuh orang seperti ini. Benar saja, mami Yenny menepuk pipi Raka sembari tertawa kecil, "Raka ini loh, seneng banget bercanda!" Dan senyuman lebar nan palsu menjadi hiasan penutup drama kecil mereka. Mami memang selalu pintar bermain peran dan muslihat untuk menutupi kelicikan dan kebusukannya.