"Memang ada apa dengan surfing?"
"Hah?"
Siang ini aku ada janji temu dengan teman masa kecilku, Herma, yang sekarang tinggal di Jakarta bersama suaminya. Minggu ini dia sengaja pulang ke kampung halaman karena rindu kedua orangtuanya. Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk bersua dengan Herma. Walaupun kami masih bisa bicara lewat aplikasi chatting, tapi lebih afdol rasanya kalau bertatap muka. Setelah ngobrol bermacam-macam hal, mulai dari keadaan keluarga hingga gosip seputar orang-orang di tempat kerja kami masing-masing, aku bercerita soal novel yang tengah aku kerjakan. Pertanyaan Herma yang spontan itu menggelitik logikaku. Iya, memang ada apa dengan surfing sampai aku mengangkatnya dalam tulisanku?
"Gak ada apa-apa, sih... Pengen nulis itu aja." Jawabku kemudian.
"Oh...." Tanggapan Herma yang singkat sebenarnya tidak menyiratkan apa-apa. Tetapi kenapa justru aku yang merasa tidak puas dengan jawabanku barusan. Seharusnya ada alasan kuat kenapa aku menulis soal itu.
"Kalau dipikir-pikir, kamu tuh sama sekali gak ada urusan sama surfing. Boro-boro main surfing, berenang aja kamu gak bisa! Rumahmu juga jauh dari pantai." Fakta-fakta yang dibeberkan Luna semakin membuatku berpikir. Sudah tepatkah cerita yang kutulis? Memangnya kalau menulis harus yang ada kaitannya dengan penulis? Sampai perjumpaan kami berakhir dan kami pulang ke rumah masing-masing, kata-kata sederhana Herma masih saja menghantuiku. Akibatnya, aku menjadi buntu. Tak tahu harus melanjutkan cerita Lautan Sunyi ini seperti apa, membawanya kemana. Sudah benarkah keputusan yang aku ambil? Dua cerita yang kutulis sebelumnya, juga tidak punya hubungan dengan kehidupanku. Tapi tak ada setitikpun keraguan, tak ada celotehan yang bisa menggoyahkanku saat itu.
"Kamu salah kalau bilang dua ceritamu sebelumnya nggak ada keterikatan sama kamu." Luna, yang menemaniku setiap malam saat Mas Hari pergi menemui gerombolan ikan lele, memunculkan kerenyit tanya di keningku.
"Kok bisa?" Tanyaku. Walau aku berkata seperti itu pada Luna, samar-samar aku sudah tahu jawabannya.
"Novel pertamamu, kamu nulis tanpa mikir, kan? Cuma mbayangin kamu ada di situasi itu, dan kamu jadi tokoh utamanya. Kamu hidup di dalam ceritanya."
Aku mengangguk-angguk setuju. Luna terus mengoceh, suaranya mengikutiku mengelilingi rumah. Baru ditinggal beberapa jam, rumahku sudah seperti pecahan kapal yang terkena badai. Mainan berserakan di lantai, bercampur dengan sisa-sisa makanan yang pasti disebarkan tanpa sengaja oleh kedua anakku. Katanya rumah yang ada anak kecilnya tidak akan pernah bisa rapi, dan aku hanya bisa mengamini pernyataan itu.
"Nia!!" Kupanggil anak pertamaku, gadis kecil berambut keriting dan bermata bulat.
"Ya, Ma!!" Nia nama panggilannya, membalas teriakanku dengan teriakan, tapi batang hidungnya tak kunjung muncul. Butuh dua kali panggilan lagi untuk membuatnya datang ke hadapanku.
"Sini, bantu Mama beresin mainanmu."
"Dedek diajak juga dong, Ma! Kan, dia ikut mainan!" Protes Nia, kedua tangannya ditautkan di belakang punggung. Itu bentuk protesnya atas perintah yang kuberikan.
"Adek, kan, masih kecil. Masih bayi, belum ngerti kalau disuruh beresin mainan. Kalau Nia, kan, udah besar."
Nia tidak lagi menjawab kata-kataku, dan mulai memunguti mainannya. Suara Luna kembali mendominasi.