Nama Siapa yang Harus Kutulis?

Yuanita Fransiska
Chapter #1

Prolog

Hujan deras mengguyur kawasan ibukota sejak siang hari, menciptakan genangan air setinggi mata kaki. Beberapa kali gerimis menyelingi, tetapi tak mengurangi awan kelabu yang menyelubungi atmosfer bumi. Langit hitam tak henti bergemuruh, memekikkan gelegar halilintar yang menggetarkan setiap benda dan hati. Suhu udara kian menurun, menambah dinginnya hawa di sekitar jalanan yang teramat sepi.

Gemericik air di jalanan yang basah mencuat ke segala arah kala seorang wanita berlari menginjaknya. Tubuhnya tertutupi jas hujan ponco, yang tak mampu menutupi kaki dan wajahnya. Napasnya memburu, mengimbangi detak jantungnya yang semakin cepat bertalu. Air mata tak henti menetes di pipi kemerahannya, berbaur dengan air hujan yang menyerbu. Tangannya mendekap sebuah tas pakaian hitam besar, berusaha ia tutupi dari guyuran hujan yang semakin menjadi.

Cepat! Ayo, cepat!

Wanita itu tak henti memotivasi kakinya yang mulai gemetar kelelahan, bercampur dengan dingin yang semakin menusuk tulang. Berbagai doa ia rapalkan dari bibir tipisnya yang semakin merah merekah, kontras dengan kulitnya yang sepucat mayat. Tak mengapa baginya, toh sebentar lagi ia memang akan bernasib seperti apa yang sejak tadi menghuni pikirannya. Kematian akan segera datang, tak peduli sekuat apa ia melawan.

Suara riuh santer terdengar, menegakkan bulu kuduknya yang kini sudah setegak tiang bendera. Ia mempercepat langkah, melupakan segala penat yang menguliti setiap jengkal tubuhnya. Lari, lari, lari! Ia berbelok pada setiap tikungan yang ia temui, berharap dapat menghilangkan jejak diri. Otaknya terus berputar, mencari celah dan kemungkinan yang tersisa. Ia tak bisa terus berlari. Harus ada yang selamat, walau bukan dirinya sendiri.

Matanya yang buram oleh air hujan mendadak terbuka lebar saat melihat gundukan bunga di depan sebuah toko pinggir jalan. Tanpa pikir panjang, ia segera melompati rimbunan warna warni yang ternyata berduri tajam. Goresan kecil terasa mencabik betis hingga kaki telanjangnya, menyisakan luka yang tak sempat ia rasa. Ia menengok sekilas ke belakang, memastikan gerombolan bak hewan buas yang mengejarnya belum tampak.

Sementara itu, tangannya yang kaku menurunkan tas pakaian dari dekapannya, menempatkannya menempel dengan dinding toko. Selain terlindungi dari air cucuran atap, tempat itu hanya ditumbuhi rerumputan landai tak beronak. Semoga ini adalah tempat teraman, setidaknya untuk saat ini.

Getaran jemari wanita itu tak dapat lagi dikuasai saat membuka resleting tas yang sebelumnya tak tertutup sempurna. Sebuah wajah mungil dengan mata terpejam terlihat bak malaikat tanpa dosa. Ia menahan hasrat untuk mencium pipi putih dengan rona merah samar yang baru beberapa hari berada dalam pelukannya. Ia ingin sekali melihat mata birunya yang bersinar secerah batu safir, untuk terakhir kalinya.

Lihat selengkapnya