Arjuna menyeret koper hitam berukuran 28 inchi sambil menyalakan ponsel yang sejak di pesawat tadi dimatikan. Sekilas matanya mengedarkan pandang, menemukan jalan keluar dari bandara yang ramai. Setelah menemukan jalan yang harus dituju, matanya kembali berkutat pada ponsel. Berderet notifikasi muncul di layar, kebanyakan pesan singkat bertuliskan nama Mama. Belum sempat membuka, dering telepon menggetarkan tangannya.
“Halo, Juna! Kamu udah sampai Jakarta?” tanya ibunya tanpa tedeng aling-aling.
“Iya, Ma. Ini masih di bandara,” sahut pria bertubuh tinggi itu sambil meminta maaf pada wanita tua yang nyaris ditabrak.
“Nanti jangan lupa, ya, titipan Mama. Buat Tante Dewi, Om Sugeng, Bude Jarmi, Pakde Jarwo, sama yang paling penting, buat Tante Ratna. Dia ulang tahun hari ini, jangan sampai kamu telat kasih kado dari Mama!”
Menghela napas, Arjuna mengiyakan dengan malas. Sudah lebih dari sepuluh kali ibunya mengingatkan perihal titipan yang begitu banyak. Wanita itu bahkan sampai membuatkan daftar panjang barang bawaan serta kepada siapa harus diantarkan. Kopernya sampai penuh berisi barang titipan.
“Oh, iya. Tadi Selena tanyain kamu sama Mama, apa jadi pulang ke Indonesia? Mama bilang jadi. Dia mau jemput kamu katanya. Kamu kabarin dia, ya,” cerocos ibunya cepat.
Mata Arjuna terbelalak. “Ngapain Mama kasih tau dia kalau Juna ke Jakarta? Juna, kan, cuma mau riset makanan, di sini. Nggak lama. Kalau ada dia, bisa panjang urusannya,” kilahnya.
“Kan, dia tanya, Juna. Terus Mama harus bilang apa?” desah wanita yang telah melahirkannya itu. “Lagian, Om Basuki sudah sering ngobrol sama Papa. Kayaknya Papa setuju kalau dia yang akan jadi tunangan kamu. Jangan ditolak lagi. Udah sepuluh anak teman Papa yang kamu tolak, bisa-bisa Papa marah lagi.”
“Kita udah bahas ini, Ma. Juna nggak mau dijodoh-jodohin. Mau sampai kapan Papa ngenalin anak teman-temannya ke Juna? Lebih baik berhenti daripada nanti bikin banyak orang kecewa lagi!” desaknya.
“Kamu tau Papa, kan, Juna? Dia mau memastikan kamu menikah sama perempuan yang jelas bibit bebet dan bobotnya. Dia milihin gadis baik-baik yang jelas asal usulnya, keturunannya, pendidikannya, dan juga penampilannya buat kamu. Jadi nggak sembarangan, Juna. Dan sekarang, Selena memenuhi itu semua.”
“Ini yang mau nikah Juna atau Papa, sih?” sergah Arjuna. “Kok, Papa yang jadi ribet?”
“Hus! Sembarangan kamu!” tukas Mama galak. “Ya kamulah, Juna. Selena itu sudah memenuhi standar dan kriteria calon menantu yang di acc Papa. Cantik, sudah lulus S2, jago masak. Ayahnya, Om Basuki, dulu sahabat dekat Papa di kedubes Finland, kan? Apalagi sekarang dia udah jadi ketua fraksi di DPR. Kalau pemilu nanti partainya menang, dia akan jadi menteri. Kurang apa coba?”
“Juna kurang peduli,” sahut Arjuna malas. “Udahlah. Mama bilang sama Selena, Juna udah sampai rumah, naik taksi. Nggak usah jemput-jemput segala.”
“Tapi Jun, Mama—”
“Udah, ya, Ma. Nanti Juna kabarin kalau udah kasih kiriman Mama. Love you, Mom,” tutup Arjuna sebelum ibunya selesai berbicara.
Pria berhidung mancung itu memasukkan ponsel ke saku jaketnya, kemudian memijat pelipis pelan. Kepalanya sudah pusing dengan masalahnya sendiri, ditambah Papa yang selalu berusaha menjodohkannya. Memangnya ini cerita di film atau sinetron romansa? Menikahkan anak dengan sahabat atau rekan kerja supaya saling mendapat keuntungan. Sungguh, pemikiran yang kolot dan memuakkan.
Namun lebih dari itu, ada hal lain yang mengganjal dalam diri Arjuna. Hatinya sudah penuh terisi oleh sosok yang bahkan sekarang ia tak tahu ada di mana. Entah perasaan ini hanya sekadar ingin membalas budi atas bantuan gadis itu, atau karena dia satu-satunya teman yang dipunya selama di Jakarta, atau karena ia sudah berjanji untuk kembali menjemputnya setelah kembali ke Indonesia. Entahlah. Yang pasti, ia hanya ingin menemukannya, memastikan bahwa gadis itu sudah hidup bahagia. Mungkin ia bisa tenang dan bisa memulai kehidupan baru dengan hati yang lapang.
Tiba di luar bandara, Arjuna segera menuju ke tempat banyaknya taksi yang mengantri untuk mengangkut penumpang. Setelah mengantre, ia mendapat satu armada yang diarahkan menuju rumahnya di bilangan Jakarta. Ia duduk di kursi belakang, merebahkan badan di jok kulit itu. Ia membuka kacamata dan menggosok matanya pelan, sambil menghela napas panjang.
Mengusir kepenatan, ia mengambil sebuah buku agenda kecil dari ransel. Tampak deretan nama tempat yang sudah mendapat coretan darinya. Ia menarik selembar kertas foto berisi empat gambar yang hampir serupa. Seorang anak laki-laki kurus kerempeng berkacamata dengan seragam putih abu-abu, bersama seorang gadis berambut pendek seperti dirinya yang tersenyum kaku di kamera photobooth. Ia mengusap wajah gadis dengan iris mata berwarna biru yang tampak memantulkan sinar flash dari kamera. Mulutnya ternganga, kulitnya putih seperti porselen. Pipinya bersemu merah, membuatnya tampak sangat menggemaskan.
Ia akan membayar berapa pun asalkan bisa bertemu lagi dengannya.
Sudah hampir semua tempat dalam daftar di buku agenda yang ia datangi sejak dua tahun lalu setelah lulus dari kuliah. Ia mencari informasi tentang keberadaan gadis itu dan mendatanginya. Sekolahnya dari SD sampai SMA, panti asuhan tempat dia dibesarkan, sampai rumah keluarga yang dikabarkan telah mengadopsinya. Nihil. Ia bahkan tak bisa menemukan lagi jejaknya, seolah sudah hilang ditelan dunia.