Bunga menudungi kepala dengan tangan, mencegah sinar mentari siang menyerbu mata. Dengan kikuk ia menyeberang jalan raya yang ramai lalu lalang kendaraan, melambaikan tangan pelan-pelan. Sudah lama dia tidak menginjakkan kaki di luar pagar pembatas toko bunga Melati, sampai-sampai untuk menyeberang jalan saja dia takut setengah mati.
Tiba di toko, pengunjung yang datang semakin bertambah banyak, seolah berkembang biak dua kali lipat. Tampak Mas Sena, pemilik toko bunga yang merupakan tunangannya, sedang kewalahan diserbu pelanggan yang ingin membayar. Laki-laki bertubuh tinggi dan besar itu hanya tersenyum sekilas padanya sebelum dipanggil-panggil oleh anak-anak SMA yang membeli bunga.
Tak bisa membantu, Bunga hanya mengangguk sekilas dan bergegas menuju meja kerja yang sudah dipenuhi sisa-sisa tangkai bunga, kertas hias, pita, gunting, dan kartu. Ia mengambil kertas yang berisi deretan pesanan rangkaian bunga. Setelah pesanan Pak Lian, kini ia mendapati nama Wira yang akan memberikan bunga untuk Kusuma. Senyumnya terulas saat mendapati nama wanita yang dikirimkan sama dengan namanya. Ia jadi penasaran, apakah nama depan wanita itu Bunga juga, seperti dirinya?
Tak ada waktu untuk memikirkan itu. Ia harus bergegas melanjutkan pekerjaan. Mengenakan sarung tangan sambil berlari ke kebun belakang toko, ia memetik sisa-sisa mawar merah yang tumbuh subur di sana. Hari ini bunga perlambang cinta itu laris manis dijual. Tentu saja, hari valentin merupakan ladang uang bagi penjual bunga di ibukota.
Beruntung, laki-laki bernama Wira itu masih mendapatkan mawar sebelum kehabisan. Dengan cepat, ia kembali ke toko dan segera merangkai bunga itu menjadi satu jalinan rapi dengan menyisipkan kertas tisu putih gading di sekelilingnya. Tak lupa ia menuliskan pesan yang diminta, di bagian bawah pesanan.
‘Untuk Kusumaku tersayang.
Kubawakan bunga yang selalu menjadi hiasan meja makan kita.
Selamat ulang tahun pernikahan.
Tunggu aku di surga.
Cinta sehidup sematimu.
Wira.’
Hati Bunga mencelos demi menulis sendiri kalimat manis yang terasa begitu pahit. Tunggu aku di surga, katanya. Apakah … kekasih hati pria bernama Wira ini sudah tiada? Astaga, betapa setianya pria itu pada sang kekasih hingga masih memberikan bunga walau tak lagi hidup di dunia yang sama. Benar-benar di luar batas logika yang bisa ia terima.
Tentu saja. Seumur hidupnya, Bunga tidak pernah merasakan cinta yang ditujukan untuknya. Ia bahkan tak yakin ada orang yang menyayangi lebih dari seorang saudara. Mas Sena, meskipun kini sudah berstatus tunangannya, tetap saja ia masih menganggapnya sebagai kakak angkat seperti di panti dahulu. Apalagi Reno, dia tak lebih dari saudara yang selalu membuatnya kesal.
Getaran lembut terasa di pergelangan tangan Bunga, tempat di mana gelang kain rajut yang sudah kusam melingkar. Ia memejamkan mata, mengingat satu-satunya laki-laki yang pernah memenuhi relung hatinya. Sekilas, seperti mengedipkan mata. Karena tak lama ia merasakan kedekatan yang membuat hatinya hangat, laki-laki itu harus pergi meninggalkannya.
Arjuna namanya. Seperti nama tokoh dalam pewayangan yang rupawan. Namun, kalau diingat lagi, penampilannya sungguh berbanding terbalik dengan salah satu bagian dari Pandawa lima yang bertubuh gagah dan tampan. Tubuh kurus Arjuna-nya selalu menjadi bahan ejekan, apalagi kacamata lebar yang hampir menutup setengah wajahnya. Seperti dirinya, dia juga sering di-bully oleh teman-teman. Jika Bunga dihina karena tidak memiliki orang tua, Arjuna selalu dimanfaatkan karena berasal dari keluarga kaya.
Ironis. Kesamaan nasib itu pula yang membuat mereka jadi dekat. Keberaniannya menyelamatkan Arjuna yang sedang ditindas dan dipalak membuat cowok itu berterima kasih padanya. Sebuah keuntungan sebenarnya, karena dia jadi sering ditraktir makanan mahal oleh cowok itu. Di panti, jangankan makanan enak, bisa makan tiga kali sehari saja sudah untung.
Mengingat Arjuna membuat hatinya kecut dan manis di saat bersamaan. Satu-satunya kenangan indah yang dimiliki seumur hidupnya hanya dihadirkan laki-laki itu. Namun, kepergiannya yang tiba-tiba dan tiada kabar akan kehadirannya kembali memupuskan harapan Bunga. Penantiannya agar cowok itu kembali untuk menjemputnya sudah kandas, seperti hidupnya yang sudah hancur seperti vas yang jatuh ke lantai.
“Bunganya sudah, Mbak?” tanya wanita berjilbab biru yang entah sejak kapan sudah berada di sisinya.
Bunga terkesiap, tersadar dari lamunan saat menggoreskan tinta. Ia baru menulis setengah bagian dari kalimat permintaan laki-laki bernama Wira itu. Gawat! Jangan sampai pelanggan komplain karena keteledorannya.