Berat rasanya bagi Maddie Milton dan kedua putrinya, Christine dan Violet, yang harus pindah ke Negara Bagian Mississippi dua bulan setelah kematian Tom, seorang suami dan seorang ayah karena kecelakaan mobil yang tragis. Maddie menggunakan hampir seluruh warisannya untuk membeli rumah baru. Ia juga melamar pekerjaan baru sebagai penyunting buku anak. Pikirnya itu akan jadi awal yang baik untuk memulai hidup bersama dengan kedua putrinya.
Meski begitu, Christine tampak tidak menyukai hal tersebut. Hal itu muncul sejak patah hati yang dideritanya tak kunjung sembuh. Tragedi yang menimpa ayahnya selalu terngiang-ngiang dalam benaknya dan hampir mengubah seluruh hidupnya, tidak terkecuali Violet. Ia selalu mengurung diri di kamar. Senyum pun tampak jarang menghiasi hari-hari yang ia jalani. Setiap hari seolah hanya warna kelabu yang dilihatnya. Di sekolah, ia lebih memilih untuk duduk di bawah pohon di taman bermain menyendiri daripada bergaul atau bercengkerama dengan teman-temannya.
Dalam diri Maddie, kegundahan bukan hal yang mudah dihindari. Ia selalu menghabiskan harinya di kafe atau tempat lain dimana ia menyendiri. Berbaring di tempat tidur atau hanya sekadar lewat ruang kerja selalu menumpahkan air matanya. Ia sangat rindu Tom, terlalu merindukannya. Kenangan tentangnya seolah berputar-putar dalam benaknya. Terkadang, ia mendapati dirinya berdiri terpaku di depan ruang itu sambil membayangkan Tom yang sibuk di depan komputernya siang dan malam. Ia rindu membuatkan secangkir kopi untuknya. Ia rindu akan kecupan manis dan lembut di kening atau bibirnya, sebelum tidur atau sebelum berangkat kerja.
Ia rindu sentuhan tangannya yang halus di kulitnya, seolah hanya Tom yang bisa melakukan semua hal tersebut. Kerinduan itu, lama-lama, semakin membawanya menjauh dari kenyataan yang terjadi sekarang. Tampaknya hal itu yang membuatnya malah lebih tersiksa dari dalam. Ia takut jika menyelam terlalu dalam, ia akan hanyut, tenggelam dalam kesedihan selamanya dan tidak bisa berenang kembali ke permukaan.
Hari Sabtu di awal musim gugur, truk pindahan sudah parkir di depan rumah mereka. Tiga orang pria, memakai seragam bertuliskan Move with Heart, turun dari truk dan mulai mengangkut perabotan; TV, beberapa kursi, meja makan dan lainnya. Maddie berada di kamarnya siang itu. Ia sedang sibuk mengemas pakaian dan beberapa barang lain ke dalam tas kopernya. Christine dan Violet juga melakukan hal yang sama di kamar mereka masing-masing.
Beberapa menit kemudian, mereka turun ke lantai bawah dan melangkah ke mobil Ford Focus merah yang parkir di garasi. Tak lama, setelah semua barang terangkut, Maddie dan putrinya masuk ke dalam mobil, menderu mesin mobil dan berangkat.
Sekitar dua sampai tiga jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di kota kelahiran Maddie – Jackson, Mississippi. Maddie memelankan laju mobilnya ketika melewati beberapa pertokoan dan sebuah mal. Beberapa mil berikutnya, rumah-rumah warga mulai tampak berjajar di sepanjang jalan. Dari yang bergaya modern hingga klasik. Lalu, sebuah gedung sekolah bercat dinding kuning yang terdapat halaman depan yang luas, tampak berdiri begitu gagah dan menjadi satu-satunya sekolah terbesar di kota kecil tersebut.
Setelah melewati dua perempatan, akhirnya mereka berhenti di depan sebuah rumah. Sebenarnya, rumah itu tidak tampak seperti rumah baru atau modern seperti rumah-rumah di sekitarnya. Meskipun tampak besar, tetapi hampir semua dindingnya terbuat dari batu bata dan di cat abu-abu kecokelatan – mirip seperti rumah di tahun era 90’an. Dari bagian depan, jendela-jendelanya tampak besar dan berbingkai tebal besar, sangat mencolok seolah rumah itu tidak punya pintu masuk.
Maddie membelokkan mobilnya ke jalan masuk mobil dan memasukkan perseneling parkir. Lalu, ia mematikan mesin mobil. “Baiklah, anak-anak,” katanya melihat pada kaca cermin tengah. “Kita sudah sampai.” Ia menarik kunci mobil dari lubang pengapian, meraih tas dompetnya dan kemudian turun dari mobil. Ia menyusul Christine dan Violet yang sudah lebih dulu keluar mobil dan sedang menatap rumah baru mereka. Bersamaan, mereka pun melangkah naik ke tangga teras depan dan berdiri di pintu masuk.
Ketika Ibunya sedang berusaha membuka pintu depan, Christine terheran saat memerhatikan sekelilingnya dan pada tiap sudut rumah barunya; dinding-dinding, dan jendela-jendelanya yang besar. Ia tidak suka bangunan tua. Rasa bergamang dan tak nyaman tiba-tiba merangkak dari punuk lehernya saat melihat salah satu jendela dengan tirai terbuka, seolah ada yang sedang mengawasinya dari balik tirai itu. Lingkungan di sekitar rumah itu juga sepi dan jarang orang lewat. “Tempat yang sempurna untuk syuting film horor,” batinnya.
Akhirnya, pintu depan terbuka. Maddie harus mendorongnya sedikit kuat agar dapat benar-benar terbuka lebar karena berat. “Sepertinya pintu ini agak macet,” tuturnya sambil bertolak pinggang. “Semoga Ibu bisa panggil tukang di sekitar sini untuk memperbaikinya.” Christine dan Violet melangkah perlahan ke dalam. Mereka berhenti di samping meja kecil dekat pintu masuk. Namun, mata mereka terus membelalak ke kanan dan kiri saat menatap ruang depan.
Ruang depan tidak begitu buruk, tetapi juga tidak banyak yang dapat dilihat. Ada lampu kandelir mewah dengan pernak-pernik kaca bergemerincing tepat di atas kepala mereka. Di depannya, tangga besar terbuat dari kayu bergaya klasik menuju ke lantai dua, seolah mempersilakan mereka untuk berkelana di rumah itu. Setiap anak tangganya berlapis karpet merah Maroon halus dan mewah. Lalu, foto-foto pajangan dan lukisan besar terpajang di setiap dinding. Rumah itu memang besar dan tampak mewah, tetapi hampir semua tertutup debu seperti lama tidak dihuni. Dari bagian belakang rumah juga terdapat halaman belakang yang menyatu dengan hutan belantara dan sebuah rumah pohon tua. Bukan bak istana, tetapi mungkin pemilik sebelumnya merancang sedemikian rupa sehingga terkesan seperti istana yang mewah.
Maddie menaruh kunci mobil dan tasnya di atas meja kecil dekat pintu masuk dan meraih saklar lampu kandelirnya. Ia menemukannya, tetapi lampu tersebut tidak mau menyala saat ia memainkan saklarnya. “Ah, bagus!” kesalnya. “Lampunya rusak.” Ia mendesah, lalu menoleh kepada putrinya yang menatapnya khawatir. “Tidak apa-apa. Ini hanya lampu tua. Kita akan cari cara untuk perbaiki. Sekarang, kalian berkeliling saja atau bereskan barang-barang dari mobil. Ibu mau masak makan malam di dapur dulu.” Ia melangkah ke dapur, tetapi berbalik badan lagi sesaat. “Oh iya, kamar kalian ada di lantai dua, ya. Pilih yang kalian suka.”
Christine dan Violet masih enggan untuk berkeliling di rumah asing itu. Jadi, mereka membuntuti Maddie ke dapur juga. Ruang dapur jadi satu dengan ruang makan dan masih tampak kosong; hanya ada kabinet dapur, meja dan dua bangku bar, dan lemari es. Dua jendela besar dan dinding putih kebiruan jadi pintu masuk sorot cahaya matahari yang hampir mampu menerangi tiap sudut ruangan tersebut. Mereka berdiri di bendul pintu ruang makan yang melengkung sambil memerhatikan Maddie yang sibuk buka dan tutup pintu lemari es. Aroma makanan yang dipanggang samar-samar tercium memenuhi ruangan itu, padahal Ibunya baru saja memotong sosis yang masih dingin.
“Kalian sudah tahu, ‘kan? Ini ruang makan sekaligus dapur. Masih kosong tapi sebentar lagi truk pindahan datang dan meja makan akan ditata sebelah sana, dekat dengan jendela. Gimana menurut kalian?” kata Maddie sambil menunjuk ke jendela dengan pisau di tangannya. “Ibu juga sudah membeli lemari es baru ini karena kita harus tinggalkan yang lama,” lanjut celotehnya ketika ia melihat putrinya hanya menoleh dari satu sisi ke sisi yang lain. “Sekarang bisa kalian tunggu di ruang lain saja? Tolong jangan ganggu konsentrasi Ibu, ya.”
Akhirnya, Christine dan Violet meninggalkannya sendiri bersama dengan kompor, panci dan alat dapur lainnya. Mereka memutuskan untuk berkeliling. Mereka melangkah masuk ke dalam ruang keluarga yang berseberangan dengan ruang makan. Ruangan itu tampak nyaman. Ada satu sofa tua besar di dekat mereka. Violet langsung melompat-lompat ke sofa empuk itu. Debu-debu beterbangan membuat Kakaknya bersin dan terbatuk-batuk. “Violet, hentikan!” jengkelnya.
Tepat di depan mereka terdapat sebuah televisi tua. Televisi itu masih bertabung dengan layar yang besar. Mungkin masih menyajikan tayangan hitam putih. Untung saja, Ibu mereka tidak menjual TV flat screen-nya sehingga masih bisa segera menggantinya saat truk pindahan tiba.
Ketika cukup melihat-lihat ruang itu, Christine memutuskan untuk lanjut menelusuri ruangan lain, guna beradaptasi dengan rumah itu. Tetapi, Violet ingin tetap di ruang itu. Ia kelelahan karena perjalanan panjang.
Christine pun beranjak keluar dari ruang keluarga dan menelusuri lorong tengah. Ia melewati ruang kosong yang gelap, lalu berhenti di depan salah satu kamar mandi. Kamar mandi itu kecil dan tidak mewah, tetapi masih terdapat bak mandi untuk berendam. Kata Ibunya, di rumah itu ada dua kamar mandi. Salah satunya yang berada di kamar tidur utama di lantai dua cukup luas.
Langkah kakinya terus melangkah lebih jauh. Tak lama, ia berhenti pada sebuah lorong yang tidak jauh dari kamar mandi itu. Tidak ada lampu di sepanjang lorong itu. Semua dindingnya berwarna merah tua, tetapi samar-samar masih terlihat ujung lorong tersebut yang penuh dengan tumpukkan kardus-kardus. “Aneh.” Christine membatin. “Kenapa ada lorong buntu di rumah ini?” Ia terus menatapnya sampai tiba-tiba sontak kaget saat Maddie berteriak kencang dari dapur.
“Anak-anak, cepat ambil barang-barang kalian dari mobil kalau sudah pilih kamar sebelum makan malam, ya!”
Christine memang tidak suka berada di rumah tersebut sejak menginjakkan kaki di sana. Suasana rumah itu membuatnya terus bergidik dan tak percaya bahwa ini tempat tinggalnya sekarang. Saat melangkah kembali ke ruang depan, Violet menabraknya dari belakang. “Ah!” teriak Christine. “Hati-hati, dong Vi!” Namun, Violet hanya meringis dan lanjut lari ke teras.
“Ayo balapan, Kak!” ucapnya.
Violet buru-buru menuruni tangga dan lari ke mobil, tetapi Christine tetap menghiraukannya. Ia berjalan santai tanpa ada niat menyusulnya. Mereka membuka pintu bagasi mobil dan menggembol tas masing-masing. Di saat yang sama, truk pindahan akhirnya tiba dan parkir di sisi jalan. Para petugas pindahan tersenyum pada Christine dan Violet, lalu mengerjakan tugas mereka.
Saat mereka berdua kembali ke teras, ekor mata Christine tidak sengaja melihat sebuah goresan kecil di dinding pintu depan. Ia heran dan merasa tidak melihatnya sewaktu pertama kali tiba, atau mungkin tidak menyadarinya. Awalnya ia mengira goresan itu akibat pintu yang sedikit dibuka paksa. Namun semakin diperhatikan lagi, ada noda merah yang mengering di setiap goresan itu.
Noda apa itu?
Tangga menuju lantai dua tampaknya sudah setua rumah tersebut. Tiap anak tangganya berderak saat dipijak. Christine dan Violet melangkah masuk ke dua kamar masing-masing yang berbeda. Ada total empat ruangan di lantai itu; ruang kamar tidur utama berada di sisi kiri tangga dan tiga ruangan lainnya ada di kanan tangga.
Violet memilih kamar paling dekat dengan tangga. Matanya terbelalak dan senyumnya merekah ketika masuk ke dalam. Tempat tidurnya yang sekarang lebih besar dengan seprai bermotif bunga violet seperti namanya. Ia juga punya lemari pakaiannya sendiri, menyatu pada dinding yang menghadap ke tempat tidur. Tepat di depannya, bias sinar matahari masuk melalui jendela besar yang menghadap ke rumah pohon di halaman belakang. Rasa puas dan girang hampir tak terbendung saat menatap ke segala sudut ruang kamar barunya sambil melompat-lompat di atas tempat tidur barunya.
Sementara itu, Christine memilih kamar di sebelahnya. Di dalamnya tidak jauh berbeda seperti kamar Violet; ada satu tempat tidur besar dengan seprai klasik motif bunga mawar merah, meja rias di dekat pinti dan lemari pakaian yang menyatu dengan dinding menghadap tempat tidur. Sinar matahari juga masuk menerangi kamarnya melalui jendela yang menghadap langsung ke halaman belakang dan hutan belantara. Namun, tidak seperti Violet, meski kamarnya luas dan bagus, ia merasa biasa saja. Ia tetap rindu kamarnya yang lama.
Dengan malas, ia beranjak ke dalam dan lantas membongkar barang-barangnya. Ketika sedang menata pakaiannya ke lemari, Violet berdiri di ambang pintu kamarnya. Ia menatap Kakaknya sebelum memanggilnya.
“Kak, ada rumah pohon di halaman belakang,” ucapnya antusias. Christine menoleh padanya, tetapi tidak menghiraunya. Ia tampak seperti orang sibuk, membawa setumpuk pakaian yang sudah kusut dengan satu tangan seperti pelayan yang sedang membawa pesanan pelanggan dan melemparnya ke lemari begitu saja. Kemudian, ia kembali menata peralatan rias wajah di meja rias. Ia hanya mondar mandir di dalam kamarnya tampak tidak peduli pada Violet yang pelan-pelan membuntutinya.
“Kak, temani aku main yuk!” ajak Violet lagi.
“Pergi sana sendiri, aku sibuk!” bentak Christine. Entah kenapa tiba-tiba ia bersikap seperti itu padanya, padahal tidak bermaksud seperti itu. Namun belum sempat minta maaf padanya, Violet sudah berlari pergi.
Setelah barang-barangnya tertata rapi, Christine mendengar erangan dari luar jendelanya. Ia beranjak ke jendela dan panik melihat Violet terbaring di rumput dekat rumah pohon tua. “Hah! Anak itu benar-benar membuatku kena masalah!” batinnya. Tidak lagi! Ia tidak mau disalahkan oleh Ibunya lagi seperti dulu-dulu kalau sampai kenapa-kenapa dengannya kali ini, karena ini tanggung jawabnya menjaga Violet saat Maddie sibuk. Dengan buru-buru, ia setengah berlari keluar kamar menuju tangga. Namun, langkahnya terhenti ketika tiba-tiba…
“Christine!”
Bisikan halus mendayu memanggil namanya. Perlahan, ia menoleh ke belakang. Matanya menyipit ke arah sebuah pintu cokelat tua ruangan di sebelah kamarnya. Seketika, bulu kuduknya berdiri saat menatapnya. Hawa dingin mendadak terasa menusuk kulit. Karena penasaran, ia mendekati pintu tersebut. Tangannya menjulur ke depan dan memutar gagang besinya. Namun, pintu itu terkunci.